Fitohormon merupakan senyawa organik tumbuhan yang pada konsentrasi optimum mampu mempengaruhi pertmbuhan, perkembangan, dan pegerakan (taksis) tanaman baik mendorong maupun menghambat. Hormon penghambat pertumbuhan tanaman bermacam-macam ada etilen, asam absisat, asam jasmonat, batasin dan lain sebagainya. Sesuai dengan fungsinya, hormon-hormon ini memiliki cara kerja dan karakteristik yang masing-masing berbeda sebagai inhibitor. Hormon penghambat yang umum dikenal adalah etilen dan asam absisat.
·         Etilen

Etilen merupakan hormon berbentuk gas yang dapat dijumpai pada jaringan tanaman yang sudah tua. Etilen memiliki rumus kimia H­4C2 atau dikenal sebagai Etena. Gas etilen lebih banyak dikenal sebagai pemacu pemasakan pada buah. Pada buah klimaterik aplikasi etilen mampu meningkatkan respirasi buah sehingga buah lebih cepat matang, biasanya terjadi perubahan warna buah dari hijau menjadi orange atau merah. Perubahan ini disebabkan oleh degradasi klorofil oleh etilen. Bukan hanya pada buah, degradasi klorofil oleh etilen juga terjadi pada bagian tanaman lain yang mengalami proses penuaan ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi coklat. Sebagai hormon penghambat pertumbuhan, etilen mampu menghambat batang dan akar dengan proses penebalan sel (pertumbuhan kesamping). Walaupun menghambat pertumbuhan, tetapi penebalan ini mampu membuat batang dan akar menjadi lebih kuat. Hal ini menguntungkan pada tanaman-tanaman yang ditanam pada tanah yang keras. Penebalan sel-sel pada akar membuat akar lebih kuat untuk masuk kedalam tanah. Namun pada tanaman yang tergenang air, etilen akan sulit bergerak dengan kondisi jenuh air. Terjadi penimbunan etilen pada batang akibatnya terjadi pemanjangan yang cepat. Pada spesies tertentu hal ini mengakibatkan pemanjangan batang atau cabang dengan cepat hingga daun atau batang berada di permukaan air. Banyak efek-efek lain yang mampu ditimbulkan oleh etilen, seperti mengakhiri dormansi biji, bengkoknya epikotil atau hipokotil pada saat perkecambahan dan terbentuknya jenis kelamin bunga pada spesies monoesius (Salisbury dan Ross, 1995). Gejala yang sering diekspresikan oleh tanaman secara umum setelah adanya etilen adalah klorosis daun, penebalan diikuti berkurangnya pemanjangan, pelayuan, epinasti, gugurnya daun, terbentuknya akar liar dan meningkatnya kepekaan terhadap patogen.
Biosintesis etilen dimulai dengan perubahan asam amino metionin menjadi S-adenosyl-L-methionine (SAM atau Adomet) oleh enzim Met Adenosyltransferase yang merupakan salah satu reaksi pada siklus penyelamatan sulfur (S). Unsur S dapat ditemukan pada rangkaian hidrokarbon Metionin dan SAM. Pada proses ini membutuhkan ATP dan air hingga metionin kehilangan 3 gugus fosfat. Kemudian SAM yang telah terbentuk diubah menjadi 1-aminocyclopropane-1-carboxylic-acid (ACC) oleh enzim ACC synthase (ACS). ACC dioksidasi menjadi etilen oleh enzim ACC-oxidase (ACO) atau dikenal juga dengan Ethylene Forming Enzyme/EFE (Salisbury dan Ross, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi biosintesis etilen seperti:
1.      Ketersediaan etilen
Etilen merupakan hormon yang berbentuk gas sehingga etilen dapat difusi melalui ruang antar sel. Karena etilen memiliki sifat autokatalitik, masuknya etilen melalui ruang antar sel akan meningkatkan EFE yang memacu pembentukan etilen. Kemudian diikuti dengan peningkatan aktivitas ACC sintase yang jauh lebih besar. Akibatnya terjadi peningkatan ACC pada jaringan yang menua tersebut.
2.      Kandungan auksin
Sintesis ACC meningkat dengan adanya kandungan auksin dalam sel tanaman. Auksin menginduksi peningkatan pembentukan ACC sintase. Peningkatan ACC sintase memacu pembentukan ACC , meningkatnya jumlah ACC kemudian akan meningkatkan jumlah etilen.
3.      Lingkungan
Kekeringan, chilling, dan luka atau serangan patogen pada tanaman dapat mempengaruhi kinerja etilen. Stres lingkungan hampir sama dengan faktor-faktor sebelumnya, yaitu dengan meningkatkan aktifitas ACC sintase. Ketersediaan O2 dan cahaya juga mempengaruhi pembentukan etilen.  Oksigen memang diperlukan pada tahap akhir yaitu pada oksidasi ACC menjadi etilen. Cahaya menghambat sintesis etilen pada sel yang melakukan fotosintesis, yaitu dengan mengganggu perubahan ACC menjadi etilen.
Sintesis etilen terjadi pada daun yang sudah menua, batang, akar, bunga, buah, umbi, dan kecambah. Diduga proses biosintesis etilen terjadi di vakuola. Kajian vakuola pada tanaman Vicia faba menunjukkan bahwa organel ini mengandung ACC dan menghasilkan sebagian besar etilen.
Efek dari pembentukan etilen adalah munculnya HCN dan CO2. Sianida (HCN) yang dihasilkan bersama dengan etilen berbahaya bagi tumbuhan karena mengganggu proses respirasi tanaman. Seperti halnya pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Gardjito dkk (2006), pengamatan biosintesis etilen pada irisan mesokarp labu kuning. Garjito dkk menganalisis pengaruh pemotongan mesokarp secara silinder dan keping  menghasilkan produksi etilen, prekusornya dan enzime pengkatalisnya (Gambar 2).
Gambar 2. Produksi Etilen (A), ACC (B), ACC-oxidase (C) pada rasio luas
permukaan/gram mesocarp labu kuning (∆) keping dan (•) silinder.

Pengaruh jenis pemotongan pada masing-masing perlakuan (silinder dan keping) membuat luas permukaan yang berbeda pada potongan mesocarp buah labu kuning. Pada gambar 2A, produksi etilen mesocarp keping labu kuning menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding dengan pemotingan secara silinder, terutama pada 10 jam setelah pemotongan. Hal ini menjadi menarik setelah diketahui model grafik kuadratik pada masing-masing perlakuan menunjukkan titik optimal yang berbeda. Mesocarp berbentuk keping memiliki produksi etilen optimal pada 10 jam setelah pemotongan. Sedangkan mesocarp berbentuk silinder dengan titik optimal pada 20 jam setelah pemotongan. Dapat dilihat bahwa pelukaan dengan luas permukaan yang lebih besar mengakibatkan etilen yang terbentuk menjadi lebih besar dan lebih cepat menuju optimal. Hal ini disebabkan etilen dapat menyebar melalui ruang antar sel sehingga lebih mudah masuk kedalam sel-sel terdalam dengan mudah karena permukaan bahan yang besar. Berbeda dengan bahan yang berbentuk silinder, etilen membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mencapai bagian terdalam dari sel mesocarp labu kuning.
Pengaruh pemotongan dengan luas permukaan lebih besar ternyata juga meningkatkan prekursor etilen dalam bentuk ACC. Peningkatan ACC memiliki model grafik yang sama dengan produksi etilen. Artinya seperti pada perlakuan-perlakuan lain bahwa peningkatan etilen sebenarnya disebabkan oleh aktivitas ACC-sintase yang meningkat kemudian banyak ACC terbentuk sehingga etilen yang terbentuk juga mengikuti. Walaupun pada penelitian Gardjito dkk enzim ACC-sintase menunjukkan model grafik yang berbeda, namun pada saat etilen optimal, aktivitas enzim juga sama-sama optimal pada 10 jam setelah pemotongan.

Gambar 3. Produksi Etilen (A), Sianida (B), Aktivitas β-CAS (C) pada rasio luas permukaan/gram mesocarp labu kuning (∆) keping dan (•) silinder.

Gambar  3 membandingkan antara produksi etilen dengan terbentuknya senyawa lain, disini khususnya pada sianida (HCN) yang merugikan pada tanaman. Dari model grafik yang terbentuk antara produksi etilen dan sianida dengan waktu inkubasi menunjukkan produksi optimal pada perlakuan mesocarp keping sama-sama terjadi pada 10 jam setelah pemotongan. Sedangkan pada mesocarp berbentuk silinder juga sama pada 20 jam setelah pemotongan. Etilen lebih banyak terbentuk pada potongan berbentuk keping juga diikuti dengan kandungan sianida yang lebih tinggi pada perlakuan pemotongan bentuk keping. Artinya pada saat terbentunya etilen, ternyata juga terjadi pembentukan sianida dan CO2, sehingga biosintesis etilen dapat ditulis pada Gambar 4 berikut:

Gambar 4. Biosintesis Etilen.
Pembentukan sianida yang beracun bagi tanaman kemudian terdapat suatu mekanisme detoksifikasi sianida dengan adanya aktivitas enzim β-CAS. Enzim β-CAS dengan cystein mendegradasi sianida menjadi β-cyano alanine. Proses detoksifikasi berakhir dengan terbentuknya Asparagin setelah β-cyano alanine bereaksi dengan H­­2S. Kembali pada mesokarp labu kuning yang telah dipotong silinder atau keping, proses detoksifikasi ini terjadi dengan adanya peningkatan aktivitas enzim β-cyano alanine (Gambar 3). Namun,  model peningkatan enzim β-cyano alanine tidak sesuai dengan grafik HCN sebagai substratnya, hal ini diduga enzim β-cyano alanine juga mendegradasi substrat lain sehingga model grafiknya relatif stabil. Proses pembentukan etilen yang terjadi pada penelitian ini tidak mengganggu proses fisiologis tanaman dengan diketahui bahwa tidak terbentuknya MACC (Gambar 4). Tidak terbentuknya MACC berarti tidak terjadi kelebihan etilen pada jaringan mesocarp yang berpotensi mempengaruhi fisiologis tanaman. Maka semakin tinggi tingkat stres berupa luka yang dibuat (luas permukaan besar) maka etilen yang terbentuk akan semakin banyak. Jalur pembentukan etilen yang disebabkan oleh stres dapat ditunjukkan pada Gambar 5.

ACS2/6
 

Gambar 5. Tranduksi sinyal oleh etilen pada tanaman.
Sinyal tranduksi oleh etilen bermula ketika tanaman mengalami stres tertentu. Stres akan memacu terbentuknya kaskade (penerima signal) yang terdiri dari MAPKKK, MKK 4/5/9, dan MPK 3/6. Kaskade ini akan bekerja berurutan hingga terbentuk ACS 2/6 (enzim ACC sintase). ACS 2/6 membentuk ACC yang kemudian teroksidasi membentuk etilen. Etilen yang terbentuk diberi ion Cu2+ oleh RAN1 (Responsif to antagonis 1) yang merupakan transporter ATPase ion tembaga pada reseptor. Etilen yang mengikat Cu2+ berada pada reseptor yang berasosiasi dengan CTR1 di dalam retikulum endoplasma. Etilen bersama dengan CTR1 memacu akumulasi EIN2 (Ethylene Insensitive 2) dengan menghambat SCFETP1/2 sebagai pendegradasi EIN2. EIN2 merupakan regulator signal etilen yang kemudian menstabilkan EIN3/EIL1 secara tidak langsung dengan menghambat kinerja SCFEBF1/2 sebagai pendegradasi EIN3. EIN3 (Ethylene Insensitive 3) merupakan pemediasi transkripsi beberapa gen respon seperti ERF1 (Etilen Respon Faktor 1), Pora, PORB, FLS2 dan beberapa gen respon lainnya. Gen-gen tersebut merespon secara spesifik seperti respon cahaya, keberadaan etilen disekitarnya, dan respon pertahanan (Zhao dan Hong-Wei, 2011).

·         Abscisic Acid (ABA)
Hampir sama dengan etilen, asam absisat (ABA) memiliki karakteristik menghambat pertumbuhan tanaman. Perbedaanya terdapat pada kapan saatnya melakukan proses penghambatan pertumbuhan. Dapat di artikan bahwa ABA sebagai penangkap signal sedangkan etilen sebagai salah satu hormon ekspresinya. Contonya saja pada proses pengguguran daun, ABA secara tidak langsung menyebabkan penuaan pada sel organ yang akan gugur, dan itu memacu terbentuknya etilen. Kemudian etilen lah yang menyebabkan daun gugur. Hormon ABA lebih berperan penting sebagai signal dari sebuah cekaman, terutama cekaman yang berkaitan dengan keberadaan air.
Sintesis ABA terjadi di kloroplas dan plastid melalui lintasan asam mevalonat. Jalur asam mevalonat merupakan suatu jalur pembentukan metabolit sekunder. Selain jalur mevalonat juga ada jalur asam asetat dan jalur asam sikimat. Biosintesis ABA terjadi di plastid dimulai dengan proses peruraian karotenoid tertentu. Pada daun, karotenoid pembentuk ABA berada pada kloroplas. Sedangkan pada akar, buah, embrio biji dan bagian tanaman yang lain pembentukan juga terjadi di plastid seperti kromoplas, leukopas dan proplastid. Awalnya karotenoid violaxantin (dengan konfigurasi trans pada semua ikatan rangkap) diubah menjadi 9-cis violaxantin. Setelah itu 9-cis violaxantin teroksidasi oleh O2 dan terpotong-potong menjadi beberapa senyawa, salah satunya xantoksin yang merupakan epoksida berkarbon 15. Xantoksin diubah menjadi ABA aldehid dengan membuka cincin epoksidanya dengan oksidasi oleh NADP+ atau NAD+ menjadi gugus hidroksil gugus keto. Akhir dari proses ini adalah oksidasi ABA aldehid menjadi gugus karboksil ABA dengan koenzim yang mengandung molibdenum (Salisbury dan Ross, 1995). Transportasi ABA pada bagian-bagian tanaman yang dituju (lebih sering daun untuk quick respon) melalui xilem, floem dan juga dalam sel parenkim melalui apoplas.


Gambar 7. Biosintesis Asam Absisat.
 

Penghambatan pembentukan ABA dapat dilakukan dengan penempelan glukosa pada gugus karboksilnya yang dikenal dengan ABA dekonjugasi. Ester ABA-glukosa merupakan kelanjutan proses biokimia selain bila teroksidasi menghasilkan 8’-hydroxy ABA yang kemudian menghasilkan PA (Phaseic acid) kemudian DPA (4’-dihydrophaseic acid) (L.E. Arve dkk., 2012). Selain menghasilkan Ester ABA-glukosa, mekanisme tanaman untuk menstabilkan ketersediaan ABA melalui proses katabolisme ABA. Gen yang bertanggungjawab atas perombakan ABA dalam jaringan tanaman yaitu gen CYP707A1-4. Proses katabolisme ABA juga terjadi di sel penjaga dan sel pembuluh parenkim.
Secara umum ABA memberi signal pada tanaman ketika mengalami stres yang disebabkan oleh kurangnya air, salinitas, suhu dingin, suhu padan, dan chilling. Induksi penutupan stomata merupakan hal yang paling sering diisyaratkan ABA ketika tercekam defisiensi air. Akar yang mengalami cekaman air membentuk ABA lebih banyak dan mentranslokasikan ke daun melalui xilem untuk menutup stomata. ABA dari sel parenkim ditranslokasikan dengan bantuan AtABCG25 yang merupakan suatu jenis transporter ABC.

Gambar 8. Biosintesis, degradasi, transport dan respon Asam Absisat.

ABA ditranslokasikan ke jaringan penjaga dengan memanfaatkan AtABCG22 untuk proses penutupan stomata. ABA kemudian diterima oleh  reseptor yang terdiri dari PYR/PYL/RCAR. ABA akan mengaktifkan kerja dari PP2C (Fosfatase) dan SnRK (Kinase) dalam sel penjaga (Golec, A. D., dan Iwona S., 2013). Kinase menyebabkan stomata menutup dengan cara menghambat pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP di membran plasma sel penjaga. Kinase yang bekerja bebas pada permukaan luar membran plasma sel penjaga membatasi masuknya K+, sehingga K+ ­­dan air merembes keluar, turgor menurun dan stomata menutup (D.A. Cristmann, dkk, 2006). Pengaruh cekaman kekeringan juga ditunjukkan oleh percobaan dari Socias dkk (1997) yang meneliti semanggi sebagai tanaman penutup tanah dengan perlakuan irigasi normal dan tanpa irigasi/cekaman kekeringan. Hasil pengamatan beberapa parameter terdapat pada Gambar 8.

Gambar 9. Pengaruh pengeringan tanah di tingkat asimilasi CO2 (A) konduktansi stomata (g), ditentukan pada tengah hari, potensial air daun ditentukan dini hari (□) atau pada tengah hari (○) dan konsentrasi ABA dini hari di xilem. Nilai berasal dari rata-rata enam daun yang baru berkembang di bagian atas kanopi, irigasi (simbol tertutup) atau tercekam kekeringan (simbol terbuka).

Asimilasi CO2 pada tanaman semanggi yang tercekam kekeringan cenderung mengalami penurunan walaupun terjadi peningkatan pada 15 hari setelah perlakuan. Model grafik dari asimilasi CO2  menyerupai model dari konduktansi stomata. Hal ini disebabkan oleh asimilasi CO2 yang terjadi pada reaksi gelap di siklus kelvin membutuhkan CO2 yang di fiksasi melalui stomata, dimana stomata merupakan lubang tempat pertukaran gas pada tanaman. Nilai potensial air pada daun juga memiliki korelasi yang positif terhadap konduksi stomata dan tingkat asimilasi CO2 pada saat tanaman semanggi tercekam kekeringan. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori penutupan stomata pada tanaman. Potensial air pada daun yang menurun mengakibatkan turgor tanaman menurun. Akibatnya stomata menutup dan konduktansi stomata berkurang, sehingga asimilasi terhambat. Sebaliknya kandungan ABA yang diekstrak dari xilem dengan perlakuan yang sama cenderung meningkat. Hal ini menandakan bahwa penutupan stomata sangat dipengaruhi oleh keberadaan hormon ABA. Perlakuan irigasi secara normal memiliki trend yang lebih stabil, walaupun terjadi sedikit penurunan pada parameter asimilasi CO2, konduktasi stomata, dan potensial air pada daun. Namun, sedikit penurunan ini kemungkinan besar juga disebabkan oleh hormon ABA karena juga terdapat peningkatan hormon ABA pada perlakuan irigasi normal walaupun peningkatannya lebih kecil bila dibandingkan dengan semanggi pada kondisi tercekam. Pada Gambar 9 terjadi peningkatan konduktansi stomata dan asimilasi CO2 serta penurunan konsentrasi ABA sekitar pada hari ke-28, diduga setelah hari ke 28 tanaman sudah mulai beradaptasi atau sudah mencapai titik optimum mampu menerima stres kekeringan.  
Pengaruh ABA diperkuat dengan adanya hubungan antara konsentrasi ABA dengan konduktansi stomata (Gambar 10) yang memiliki korelasi negatif pada perlakuan irigasi normal, walaupun perlakuan irigasi memiliki nilai konduktansi diatas 400 mmol m-2 s-1. Bahkan pada perlakuan tercekam kekeringan, kandungan ABA menunjukkan pengaruh eksponensial. Awalnya setiap peningkatan 10 µmol m-3 konsentrasi ABA maka terjadi penurunan tingkat konduktansi stomata sebanyak sekitar 113 mmol m-2 s-1, penurunan ini terjadi hingga konsentrasi ABA mencapai 80 µmol m-3. Setelah 80 µmol m-3 peningkatan konsentrasi ABA tidak diikuti dengan penurunan konduktansi stomata walaupun konsentrasi ABA mencapai 250 µmol m-3. Tingkat konduktansi stomata pada daun terkesan landai hingga mencapai titik minimum pada sekitar 70 mmol m-2 s-1. Tidak adanya lagi penurunan konduktansi stomata disebabkan pada hakikatnya stomata tidak dapat menutup total, stomata menutup secara maksimal namun masih terdapat celah sempit yang membuat konduktansi stomata mencapai titik minimum.

Gambar 10. Hubungan antara konduktansi stomata pada tengah hari (g) dan konsentrasi ABA di xilem ditentukan pada dini hari dengan perlakuan di irigasi (●) dan tercekam kekeringan (○).

Gambar 11. Hubungan antara konduktansi stomata pada tengah hari (g) dan potensial air daun ditentukan pada dini hari (a) dan tengah hari (b) dengan perlakuan irigasi (●) dan cekaman kekeringan (○), selama percobaan pengeringan tanah.

Bila nilai konduktansi stomata (mmol m-2 s-1) dihubungkan dengan potensial air pada daun (Mpa), konduktansi stomata menunjukkan korelasi yang positif dengan potensial air pada daun (Gambar 11). Artinya peningkatan potensial air pada daun akan meningkatkan konduktansi stomata. Pengamatan pada siang hari (midday) maupun pada malam hari (predawn) menunjukkan hasil yang serupa, yaitu memiliki korelasi yang positif. Potensial air pada tanaman merupakan kesetimbangan ketersediaan air dalam jaringan dengan luar jaringan tanaman, jaringan yang dimaksud terutama daun. Peningkatan potensial air pada daun berhubungan dengan seberapa besar air yang akan dikeluarkan daun melalui stomata atau ektodesmata, dikenal dengan proses transpirasi. Karena keluarnya udara sebagian besar dari stomata, maka konduktansi stomata sebagai tempat keluar masuknya udara dan uap air sangat berkaitan.

Gambar 12. Hubungan antara tingkat fotosintesis (A) dan konduktansi stomata (g) dengan perlakuan  irigasi (●) dan cekaman kekeringan (○).
Konduktansi stomata ini berhubungan dengan proses fotosintesis tanaman. Saat konduktansi stomata meningkat/tinggi, transpirasi tanaman sedang tinggi-tingginya. Proses transpirasi ini bukan hanya melepaskan uap air dari stomata, tetapi juga menyerap CO2 bebas pada udara (pertukaran gas). CO2 ini nantinya dimanfaatkan tanaman dalam proses fotosintesis. Bila konduktansi stomata dihubungkan dengan tingkat fotosintesis tanaman semanggi dengan data yang diperoleh selama pengamatan, maka hasilnya akan memiliki korelasi yang juga positif (Gambar 12). Artinya nilai konduktansi stomata yang tinggi akan memacu proses fotosintesis sehingga laju fotosintesis tanaman juga meningkat.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi pustaka tentang biosintesis etilen dan asam absisat serta diperkuat dengan adanya data yang mendukung proses biosintesis, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Etilen merupakan hormon penuaan sel tanaman, disintesis di vakuola terutama pada sel-sel tanaman yang sudah tua dan ditranslokasikan melalui ruang antar sel atau simplas.
2.      Asam absisat merupakan hormon signal yang disintesis di plastida pada hampir semua sel di bagian tanaman dan ditranslokasikan melalui apoplas, xilem atau floem. ABA didegradasi melalui mekanisme katabolisme ABA atau penempelan glukosa hingga terbentuk ester ABA-glukosa.



Sumber:

D.A. Cristmann, D. Moes, A. Himmelbach, Y. Yang, Y. Tang, dan E. Grill. 2006. Integration of Abscisic Acid Signalling into Plant Responses. Review Article. Lehrstuhl fur Botanik, Technische Universitat Munchen, Am Hochanger 4, 85354 Freising, Germany

Gardjito, M., Mochamad Adnan, dan Tranggono. 2006. Biosintesis Etilen Luka pada Irisan Mesokarp Labu Kuning. Agritech Vol 26 no. 1

Golec, A. D., dan Iwona Szarejko. 2013. Open or Close the Gate – Stomata Action Under the Control of Phytohormones in Drought Stress Conditions. Frontiers Plant Science

L. E. Arve, Torre, S., Olsen, J.E., dan Tanino, K.K. 2012. Stomatal Responses to Drought Stress and Air Humidity. Department of plant sciences, Univercity of Saskatchewan. Norway Canada

Salisbury, F.B., dan Cleon W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. ITB. Bandung

Socias, X., M.J. Correia, M. Chaves, dan H. Medrano. 1997. The Role of Abscisic Acid and Water Relations in Drought Responses of Subterranean Clover. Journal of Experimental Botany, Vol 48:311, pp. 1281-1288


Zhao, Q., dan Hong-Wei Guo. 2011. Paradigms and Paradox in the Ethylene Signaling Pathway and Interaction Network. Oxford Journals Molecular Plant 4 (4): 1-9

date

0 komentar to “ABA (Abscisic Acid) vs Etilen”

Leave a Reply:

Tittle

Tittle

Future Agriculture

Entri Populer

Total Tayangan Halaman