Fitohormon merupakan senyawa organik tumbuhan yang pada konsentrasi optimum mampu
mempengaruhi pertmbuhan, perkembangan, dan pegerakan (taksis) tanaman baik
mendorong maupun menghambat. Hormon penghambat pertumbuhan tanaman
bermacam-macam ada etilen, asam absisat, asam jasmonat, batasin dan lain
sebagainya. Sesuai dengan fungsinya, hormon-hormon ini memiliki cara kerja dan
karakteristik yang masing-masing berbeda sebagai inhibitor. Hormon penghambat
yang umum dikenal adalah etilen dan asam absisat.
·
Etilen
Etilen merupakan hormon
berbentuk gas yang dapat dijumpai pada jaringan tanaman yang sudah tua. Etilen
memiliki rumus kimia H4C2 atau dikenal sebagai Etena.
Gas etilen lebih banyak dikenal sebagai pemacu pemasakan pada buah. Pada buah
klimaterik aplikasi etilen mampu meningkatkan respirasi buah sehingga buah lebih
cepat matang, biasanya terjadi perubahan warna buah dari hijau menjadi orange
atau merah. Perubahan ini disebabkan oleh degradasi klorofil oleh etilen. Bukan
hanya pada buah, degradasi klorofil oleh etilen juga terjadi pada bagian
tanaman lain yang mengalami proses penuaan ditandai dengan perubahan warna dari
hijau menjadi coklat. Sebagai hormon penghambat pertumbuhan, etilen mampu
menghambat batang dan akar dengan proses penebalan sel (pertumbuhan kesamping).
Walaupun menghambat pertumbuhan, tetapi penebalan ini mampu membuat batang dan
akar menjadi lebih kuat. Hal ini menguntungkan pada tanaman-tanaman yang
ditanam pada tanah yang keras. Penebalan sel-sel pada akar membuat akar lebih
kuat untuk masuk kedalam tanah. Namun pada tanaman yang tergenang air, etilen
akan sulit bergerak dengan kondisi jenuh air. Terjadi penimbunan etilen pada
batang akibatnya terjadi pemanjangan yang cepat. Pada spesies tertentu hal ini
mengakibatkan pemanjangan batang atau cabang dengan cepat hingga daun atau
batang berada di permukaan air. Banyak efek-efek lain yang mampu ditimbulkan
oleh etilen, seperti mengakhiri dormansi biji, bengkoknya epikotil atau
hipokotil pada saat perkecambahan dan terbentuknya jenis kelamin bunga pada
spesies monoesius (Salisbury dan
Ross, 1995). Gejala yang sering diekspresikan oleh tanaman secara umum setelah
adanya etilen adalah klorosis daun, penebalan diikuti berkurangnya pemanjangan,
pelayuan, epinasti, gugurnya daun, terbentuknya akar liar dan meningkatnya
kepekaan terhadap patogen.
Biosintesis
etilen dimulai dengan perubahan asam amino metionin menjadi
S-adenosyl-L-methionine (SAM atau Adomet) oleh enzim Met Adenosyltransferase
yang merupakan salah satu reaksi pada siklus penyelamatan sulfur (S). Unsur S
dapat ditemukan pada rangkaian hidrokarbon Metionin dan SAM. Pada proses ini
membutuhkan ATP dan air hingga metionin kehilangan 3 gugus fosfat. Kemudian SAM
yang telah terbentuk diubah menjadi 1-aminocyclopropane-1-carboxylic-acid (ACC)
oleh enzim ACC synthase (ACS). ACC dioksidasi menjadi etilen oleh enzim
ACC-oxidase (ACO) atau dikenal juga dengan Ethylene
Forming Enzyme/EFE (Salisbury dan Ross, 1995). Faktor-faktor yang
mempengaruhi biosintesis etilen seperti:
1. Ketersediaan
etilen
Etilen merupakan
hormon yang berbentuk gas sehingga etilen dapat difusi melalui ruang antar sel.
Karena etilen memiliki sifat autokatalitik, masuknya etilen melalui ruang antar
sel akan meningkatkan EFE yang memacu pembentukan etilen. Kemudian diikuti
dengan peningkatan aktivitas ACC sintase yang jauh lebih besar. Akibatnya
terjadi peningkatan ACC pada jaringan yang menua tersebut.
2. Kandungan
auksin
Sintesis ACC
meningkat dengan adanya kandungan auksin dalam sel tanaman. Auksin menginduksi
peningkatan pembentukan ACC sintase. Peningkatan ACC sintase memacu pembentukan
ACC , meningkatnya jumlah ACC kemudian akan meningkatkan jumlah etilen.
3. Lingkungan
Kekeringan,
chilling, dan luka atau serangan patogen pada tanaman dapat mempengaruhi
kinerja etilen. Stres lingkungan hampir sama dengan faktor-faktor sebelumnya,
yaitu dengan meningkatkan aktifitas ACC sintase. Ketersediaan O2 dan
cahaya juga mempengaruhi pembentukan etilen.
Oksigen memang diperlukan pada tahap akhir yaitu pada oksidasi ACC
menjadi etilen. Cahaya menghambat sintesis etilen pada sel yang melakukan
fotosintesis, yaitu dengan mengganggu perubahan ACC menjadi etilen.
Sintesis etilen
terjadi pada daun yang sudah menua, batang, akar, bunga, buah, umbi, dan
kecambah. Diduga proses biosintesis etilen terjadi di vakuola. Kajian vakuola
pada tanaman Vicia faba menunjukkan
bahwa organel ini mengandung ACC dan menghasilkan sebagian besar etilen.
Efek dari
pembentukan etilen adalah munculnya HCN dan CO2. Sianida (HCN) yang
dihasilkan bersama dengan etilen berbahaya bagi tumbuhan karena mengganggu
proses respirasi tanaman. Seperti halnya pada hasil penelitian yang dilakukan
oleh Gardjito dkk (2006), pengamatan biosintesis etilen pada irisan mesokarp
labu kuning. Garjito dkk menganalisis pengaruh pemotongan mesokarp secara
silinder dan keping menghasilkan
produksi etilen, prekusornya dan enzime pengkatalisnya (Gambar 2).
Gambar
2. Produksi Etilen (A), ACC (B), ACC-oxidase (C) pada rasio luas
permukaan/gram
mesocarp labu kuning (∆) keping dan (•) silinder.
Pengaruh jenis
pemotongan pada masing-masing perlakuan (silinder dan keping) membuat luas
permukaan yang berbeda pada potongan mesocarp buah labu kuning. Pada gambar 2A,
produksi etilen mesocarp keping labu kuning menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dibanding dengan pemotingan secara silinder, terutama pada 10 jam setelah
pemotongan. Hal ini menjadi menarik setelah diketahui model grafik kuadratik
pada masing-masing perlakuan menunjukkan titik optimal yang berbeda. Mesocarp
berbentuk keping memiliki produksi etilen optimal pada 10 jam setelah
pemotongan. Sedangkan mesocarp berbentuk silinder dengan titik optimal pada 20
jam setelah pemotongan. Dapat dilihat bahwa pelukaan dengan luas permukaan yang
lebih besar mengakibatkan etilen yang terbentuk menjadi lebih besar dan lebih
cepat menuju optimal. Hal ini disebabkan etilen dapat menyebar melalui ruang
antar sel sehingga lebih mudah masuk kedalam sel-sel terdalam dengan mudah
karena permukaan bahan yang besar. Berbeda dengan bahan yang berbentuk
silinder, etilen membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mencapai bagian
terdalam dari sel mesocarp labu kuning.
Pengaruh
pemotongan dengan luas permukaan lebih besar ternyata juga meningkatkan
prekursor etilen dalam bentuk ACC. Peningkatan ACC memiliki model grafik yang
sama dengan produksi etilen. Artinya seperti pada perlakuan-perlakuan lain
bahwa peningkatan etilen sebenarnya disebabkan oleh aktivitas ACC-sintase yang
meningkat kemudian banyak ACC terbentuk sehingga etilen yang terbentuk juga
mengikuti. Walaupun pada penelitian Gardjito dkk enzim ACC-sintase menunjukkan
model grafik yang berbeda, namun pada saat etilen optimal, aktivitas enzim juga
sama-sama optimal pada 10 jam setelah pemotongan.
Gambar
3. Produksi Etilen (A), Sianida (B), Aktivitas β-CAS (C) pada rasio luas
permukaan/gram mesocarp labu kuning (∆) keping dan (•) silinder.
Gambar 3 membandingkan antara produksi etilen dengan
terbentuknya senyawa lain, disini khususnya pada sianida (HCN) yang merugikan
pada tanaman. Dari model grafik yang terbentuk antara produksi etilen dan
sianida dengan waktu inkubasi menunjukkan produksi optimal pada perlakuan
mesocarp keping sama-sama terjadi pada 10 jam setelah pemotongan. Sedangkan
pada mesocarp berbentuk silinder juga sama pada 20 jam setelah pemotongan. Etilen
lebih banyak terbentuk pada potongan berbentuk keping juga diikuti dengan
kandungan sianida yang lebih tinggi pada perlakuan pemotongan bentuk keping.
Artinya pada saat terbentunya etilen, ternyata juga terjadi pembentukan sianida
dan CO2, sehingga biosintesis etilen dapat ditulis pada Gambar 4
berikut:
Gambar
4. Biosintesis Etilen.
Pembentukan
sianida yang beracun bagi tanaman kemudian terdapat suatu mekanisme
detoksifikasi sianida dengan adanya aktivitas enzim β-CAS. Enzim β-CAS dengan
cystein mendegradasi sianida menjadi β-cyano alanine. Proses detoksifikasi berakhir
dengan terbentuknya Asparagin setelah β-cyano alanine bereaksi dengan H2S.
Kembali pada mesokarp labu kuning yang telah dipotong silinder atau keping,
proses detoksifikasi ini terjadi dengan adanya peningkatan aktivitas enzim
β-cyano alanine (Gambar 3). Namun, model
peningkatan enzim β-cyano alanine tidak sesuai dengan grafik HCN sebagai
substratnya, hal ini diduga enzim β-cyano alanine juga mendegradasi substrat
lain sehingga model grafiknya relatif stabil. Proses pembentukan etilen yang
terjadi pada penelitian ini tidak mengganggu proses fisiologis tanaman dengan
diketahui bahwa tidak terbentuknya MACC (Gambar 4). Tidak terbentuknya MACC
berarti tidak terjadi kelebihan etilen pada jaringan mesocarp yang berpotensi
mempengaruhi fisiologis tanaman. Maka semakin tinggi tingkat stres berupa luka
yang dibuat (luas permukaan besar) maka etilen yang terbentuk akan semakin
banyak. Jalur pembentukan etilen yang disebabkan oleh stres dapat ditunjukkan
pada Gambar 5.
|
Gambar
5. Tranduksi sinyal oleh etilen pada tanaman.
Sinyal tranduksi
oleh etilen bermula ketika tanaman mengalami stres tertentu. Stres akan memacu
terbentuknya kaskade (penerima signal) yang terdiri dari MAPKKK, MKK 4/5/9, dan
MPK 3/6. Kaskade ini akan bekerja berurutan hingga terbentuk ACS 2/6 (enzim ACC
sintase). ACS 2/6 membentuk ACC yang kemudian teroksidasi membentuk etilen.
Etilen yang terbentuk diberi ion Cu2+ oleh RAN1 (Responsif to
antagonis 1) yang merupakan transporter ATPase ion tembaga pada reseptor.
Etilen yang mengikat Cu2+ berada pada reseptor yang berasosiasi
dengan CTR1 di dalam retikulum endoplasma. Etilen bersama dengan CTR1 memacu
akumulasi EIN2 (Ethylene Insensitive 2) dengan menghambat SCFETP1/2
sebagai pendegradasi EIN2. EIN2 merupakan regulator signal etilen yang kemudian
menstabilkan EIN3/EIL1 secara tidak langsung dengan menghambat kinerja SCFEBF1/2
sebagai pendegradasi EIN3. EIN3 (Ethylene Insensitive 3) merupakan pemediasi
transkripsi beberapa gen respon seperti ERF1 (Etilen Respon Faktor 1), Pora,
PORB, FLS2 dan beberapa gen respon lainnya. Gen-gen tersebut merespon secara
spesifik seperti respon cahaya, keberadaan etilen disekitarnya, dan respon
pertahanan (Zhao dan Hong-Wei, 2011).
·
Abscisic Acid (ABA)
Hampir sama
dengan etilen, asam absisat (ABA) memiliki karakteristik menghambat pertumbuhan
tanaman. Perbedaanya terdapat pada kapan saatnya melakukan proses penghambatan
pertumbuhan. Dapat di artikan bahwa ABA sebagai penangkap signal sedangkan
etilen sebagai salah satu hormon ekspresinya. Contonya saja pada proses
pengguguran daun, ABA secara tidak langsung menyebabkan penuaan pada sel organ
yang akan gugur, dan itu memacu terbentuknya etilen. Kemudian etilen lah yang
menyebabkan daun gugur. Hormon ABA lebih berperan penting sebagai signal dari
sebuah cekaman, terutama cekaman yang berkaitan dengan keberadaan air.
Sintesis ABA terjadi
di kloroplas dan plastid melalui lintasan asam mevalonat. Jalur asam mevalonat
merupakan suatu jalur pembentukan metabolit sekunder. Selain jalur mevalonat
juga ada jalur asam asetat dan jalur asam sikimat. Biosintesis ABA terjadi di
plastid dimulai dengan proses peruraian karotenoid tertentu. Pada daun,
karotenoid pembentuk ABA berada pada kloroplas. Sedangkan pada akar, buah,
embrio biji dan bagian tanaman yang lain pembentukan juga terjadi di plastid
seperti kromoplas, leukopas dan proplastid. Awalnya karotenoid violaxantin (dengan konfigurasi trans
pada semua ikatan rangkap) diubah menjadi 9-cis
violaxantin. Setelah itu 9-cis
violaxantin teroksidasi oleh O2 dan terpotong-potong menjadi
beberapa senyawa, salah satunya xantoksin
yang merupakan epoksida berkarbon 15.
Xantoksin diubah menjadi ABA aldehid
dengan membuka cincin epoksidanya dengan oksidasi oleh NADP+ atau
NAD+ menjadi gugus hidroksil gugus keto. Akhir dari proses ini adalah
oksidasi ABA aldehid menjadi gugus karboksil ABA dengan koenzim yang mengandung
molibdenum (Salisbury dan Ross, 1995). Transportasi ABA pada bagian-bagian
tanaman yang dituju (lebih sering daun untuk quick respon) melalui xilem, floem
dan juga dalam sel parenkim melalui apoplas.
|
Penghambatan
pembentukan ABA dapat dilakukan dengan penempelan glukosa pada gugus
karboksilnya yang dikenal dengan ABA dekonjugasi. Ester ABA-glukosa merupakan
kelanjutan proses biokimia selain bila teroksidasi menghasilkan 8’-hydroxy ABA
yang kemudian menghasilkan PA (Phaseic
acid) kemudian DPA (4’-dihydrophaseic
acid) (L.E. Arve dkk., 2012). Selain menghasilkan Ester ABA-glukosa,
mekanisme tanaman untuk menstabilkan ketersediaan ABA melalui proses
katabolisme ABA. Gen yang bertanggungjawab atas perombakan ABA dalam jaringan
tanaman yaitu gen CYP707A1-4. Proses katabolisme ABA juga terjadi di sel
penjaga dan sel pembuluh parenkim.
Secara umum ABA
memberi signal pada tanaman ketika mengalami stres yang disebabkan oleh kurangnya
air, salinitas, suhu dingin, suhu padan, dan chilling. Induksi penutupan
stomata merupakan hal yang paling sering diisyaratkan ABA ketika tercekam
defisiensi air. Akar yang mengalami cekaman air membentuk ABA lebih banyak dan
mentranslokasikan ke daun melalui xilem untuk menutup stomata. ABA dari sel
parenkim ditranslokasikan dengan bantuan AtABCG25 yang merupakan suatu jenis
transporter ABC.
Gambar
8. Biosintesis, degradasi, transport dan respon Asam Absisat.
ABA ditranslokasikan
ke jaringan penjaga dengan memanfaatkan AtABCG22 untuk proses penutupan
stomata. ABA kemudian diterima oleh
reseptor yang terdiri dari PYR/PYL/RCAR. ABA akan mengaktifkan kerja
dari PP2C (Fosfatase) dan SnRK (Kinase) dalam sel penjaga (Golec, A. D., dan
Iwona S., 2013). Kinase menyebabkan stomata menutup dengan cara menghambat
pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP di membran plasma sel penjaga. Kinase
yang bekerja bebas pada permukaan luar membran plasma sel penjaga membatasi
masuknya K+, sehingga K+ dan air merembes keluar,
turgor menurun dan stomata menutup (D.A.
Cristmann, dkk, 2006). Pengaruh cekaman kekeringan juga ditunjukkan oleh
percobaan dari Socias dkk (1997) yang meneliti semanggi sebagai tanaman penutup
tanah dengan perlakuan irigasi normal dan tanpa irigasi/cekaman kekeringan.
Hasil pengamatan beberapa parameter terdapat pada Gambar 8.
Gambar 9. Pengaruh pengeringan tanah di
tingkat asimilasi CO2 (A) konduktansi stomata (g), ditentukan pada
tengah hari, potensial air daun ditentukan dini hari (□) atau pada tengah hari
(○) dan konsentrasi ABA dini hari di xilem. Nilai berasal dari rata-rata enam
daun yang baru berkembang di bagian atas kanopi, irigasi (simbol tertutup) atau
tercekam kekeringan (simbol terbuka).
Asimilasi CO2
pada tanaman semanggi yang tercekam kekeringan cenderung mengalami penurunan
walaupun terjadi peningkatan pada 15 hari setelah perlakuan. Model grafik dari
asimilasi CO2 menyerupai
model dari konduktansi stomata. Hal ini disebabkan oleh asimilasi CO2
yang terjadi pada reaksi gelap di siklus kelvin membutuhkan CO2 yang
di fiksasi melalui stomata, dimana stomata merupakan lubang tempat pertukaran
gas pada tanaman. Nilai potensial air pada daun juga memiliki korelasi yang
positif terhadap konduksi stomata dan tingkat asimilasi CO2 pada
saat tanaman semanggi tercekam kekeringan. Hal ini dapat dijelaskan dengan
teori penutupan stomata pada tanaman. Potensial air pada daun yang menurun
mengakibatkan turgor tanaman menurun. Akibatnya stomata menutup dan konduktansi
stomata berkurang, sehingga asimilasi terhambat. Sebaliknya kandungan ABA yang
diekstrak dari xilem dengan perlakuan yang sama cenderung meningkat. Hal ini
menandakan bahwa penutupan stomata sangat dipengaruhi oleh keberadaan hormon
ABA. Perlakuan irigasi secara normal memiliki trend yang lebih stabil, walaupun
terjadi sedikit penurunan pada parameter asimilasi CO2, konduktasi
stomata, dan potensial air pada daun. Namun, sedikit penurunan ini kemungkinan
besar juga disebabkan oleh hormon ABA karena juga terdapat peningkatan hormon ABA
pada perlakuan irigasi normal walaupun peningkatannya lebih kecil bila
dibandingkan dengan semanggi pada kondisi tercekam. Pada Gambar 9 terjadi
peningkatan konduktansi stomata dan asimilasi CO2 serta penurunan
konsentrasi ABA sekitar pada hari ke-28, diduga setelah hari ke 28 tanaman
sudah mulai beradaptasi atau sudah mencapai titik optimum mampu menerima stres
kekeringan.
Pengaruh ABA
diperkuat dengan adanya hubungan antara konsentrasi ABA dengan konduktansi
stomata (Gambar 10) yang memiliki korelasi negatif pada perlakuan irigasi
normal, walaupun perlakuan irigasi memiliki nilai konduktansi diatas 400 mmol m-2
s-1. Bahkan pada perlakuan tercekam kekeringan, kandungan ABA
menunjukkan pengaruh eksponensial. Awalnya setiap peningkatan 10 µmol m-3
konsentrasi ABA maka terjadi penurunan tingkat konduktansi stomata sebanyak
sekitar 113 mmol m-2 s-1, penurunan ini terjadi hingga
konsentrasi ABA mencapai 80 µmol m-3. Setelah 80 µmol m-3
peningkatan konsentrasi ABA tidak diikuti dengan penurunan konduktansi stomata
walaupun konsentrasi ABA mencapai 250 µmol m-3. Tingkat konduktansi
stomata pada daun terkesan landai hingga mencapai titik minimum pada sekitar 70
mmol m-2 s-1. Tidak adanya lagi penurunan konduktansi
stomata disebabkan pada hakikatnya stomata tidak dapat menutup total, stomata
menutup secara maksimal namun masih terdapat celah sempit yang membuat
konduktansi stomata mencapai titik minimum.
Gambar 10. Hubungan antara
konduktansi stomata pada tengah hari (g) dan konsentrasi ABA
di xilem ditentukan pada dini hari dengan perlakuan di irigasi (●) dan tercekam
kekeringan (○).
Gambar
11. Hubungan antara konduktansi stomata pada tengah hari (g) dan potensial air
daun ditentukan pada dini hari (a) dan tengah hari (b) dengan perlakuan irigasi
(●) dan cekaman kekeringan (○), selama percobaan pengeringan tanah.
Bila nilai
konduktansi stomata (mmol m-2 s-1) dihubungkan dengan
potensial air pada daun (Mpa), konduktansi stomata menunjukkan korelasi yang
positif dengan potensial air pada daun (Gambar 11). Artinya peningkatan potensial
air pada daun akan meningkatkan konduktansi stomata. Pengamatan pada siang hari
(midday) maupun pada malam hari (predawn) menunjukkan hasil yang serupa, yaitu
memiliki korelasi yang positif. Potensial air pada tanaman merupakan
kesetimbangan ketersediaan air dalam jaringan dengan luar jaringan tanaman,
jaringan yang dimaksud terutama daun. Peningkatan potensial air pada daun
berhubungan dengan seberapa besar air yang akan dikeluarkan daun melalui
stomata atau ektodesmata, dikenal dengan proses transpirasi. Karena keluarnya
udara sebagian besar dari stomata, maka konduktansi stomata sebagai tempat
keluar masuknya udara dan uap air sangat berkaitan.
Gambar 12. Hubungan antara tingkat
fotosintesis (A) dan konduktansi stomata (g) dengan perlakuan irigasi (●) dan cekaman kekeringan (○).
Konduktansi
stomata ini berhubungan dengan proses fotosintesis tanaman. Saat konduktansi
stomata meningkat/tinggi, transpirasi tanaman sedang tinggi-tingginya. Proses
transpirasi ini bukan hanya melepaskan uap air dari stomata, tetapi juga
menyerap CO2 bebas pada udara (pertukaran gas). CO2 ini
nantinya dimanfaatkan tanaman dalam proses fotosintesis. Bila konduktansi
stomata dihubungkan dengan tingkat fotosintesis tanaman semanggi dengan data
yang diperoleh selama pengamatan, maka hasilnya akan memiliki korelasi yang
juga positif (Gambar 12). Artinya nilai konduktansi stomata yang tinggi akan
memacu proses fotosintesis sehingga laju fotosintesis tanaman juga meningkat.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil studi pustaka tentang biosintesis etilen dan asam absisat serta diperkuat
dengan adanya data yang mendukung proses biosintesis, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Etilen
merupakan hormon penuaan sel tanaman, disintesis di vakuola terutama pada
sel-sel tanaman yang sudah tua dan ditranslokasikan melalui ruang antar sel
atau simplas.
2. Asam
absisat merupakan hormon signal yang disintesis di plastida pada hampir semua
sel di bagian tanaman dan ditranslokasikan melalui apoplas, xilem atau floem. ABA
didegradasi melalui mekanisme katabolisme ABA atau penempelan glukosa hingga
terbentuk ester ABA-glukosa.
Sumber:
D.A. Cristmann, D. Moes, A. Himmelbach, Y. Yang, Y.
Tang, dan E. Grill. 2006. Integration of Abscisic Acid Signalling into Plant
Responses. Review Article. Lehrstuhl
fur Botanik, Technische Universitat Munchen, Am Hochanger 4, 85354 Freising,
Germany
Gardjito, M., Mochamad Adnan, dan Tranggono. 2006.
Biosintesis Etilen Luka pada Irisan Mesokarp Labu Kuning. Agritech Vol 26 no. 1
Golec,
A. D., dan Iwona Szarejko. 2013. Open or Close the Gate – Stomata Action Under
the Control of Phytohormones in Drought Stress Conditions. Frontiers Plant Science
L.
E. Arve, Torre, S., Olsen, J.E., dan Tanino, K.K. 2012. Stomatal Responses to Drought Stress and Air Humidity. Department
of plant sciences, Univercity of Saskatchewan. Norway Canada
Salisbury,
F.B., dan Cleon W. Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan Jilid 3. ITB. Bandung
Socias,
X., M.J. Correia, M. Chaves, dan H. Medrano. 1997. The Role of Abscisic Acid
and Water Relations in Drought Responses of Subterranean Clover. Journal of Experimental Botany, Vol 48:311,
pp. 1281-1288
Zhao, Q., dan Hong-Wei Guo. 2011. Paradigms and
Paradox in the Ethylene Signaling Pathway and Interaction Network. Oxford Journals Molecular Plant 4 (4): 1-9












