Besi adalah
empat besar unsur yang paling melimpah di bumi. Sebagian besar dalam bentuk
silikat ferromagnesium. karena merupakan komponen kerak bumi, yang
persentasenya sekitar 1%-5% atau setara dengan 20.000-100.000 lb/a pada lapisan
olah tanah. Sebagian besar besi dalam tanah ditemukan dalam mineral silikat
atau oksida besi dan hidroksida besi, bentuk yang tidak tersedia untuk tanaman.
Dengan demikian besi tidak ditemukan dalam bentuk murni tetapi dalam bentuk
senyawa dengan unsur lain, seperti hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4), dan pyrit
(FeS2). Besi dalam tanah dapat berfungsi sebagai mineral, endapan, pembentuk
senyawa organik, dan ion.
Oksida besi
terdapat di hampir semua tanah sebagai produk umum dari proses pembentukan
tanah. Oksida besi adalah partikel yang sangat kecil (<0,1 ṃm). Ukuran yang
sangat kecil membuatnya lebih reaktif karena luas permukaan yang tinggi, hal
ini berkaitan dangan gugus fungsional terbuka pada permukaannya. Unit dasar
dari oksida besi adalah Fe(O,OH)6 oktahedron dan perbedaan antar
besi oksida terletak pada susunan oktahedranya. Besi oksida meliputi: goetit
(α-FeOOH) berwarna kuning/coklat, hematit (α-Fe2O3)
berwarna merah, lepidocrocite (γ-FeOOH) berwarna kuning, maghemite (γ-Fe2O3),
magnetite (Fe3O4) berwarna hitam dan ferihidrit (5Fe2O3.9H2O
atau Fe5HO8.4H2O) (Annisa dan Eko, 2013). Oksida
dan hidroksida besi bertanggungjawab atas kemerahan dan warna kekuningan pada
tanah. Besi juga secara tidak langsung berpengaruh pada warna hijau daun,
karena Fe merupakan salah satu unsur pembentuk klorofil bagi tanaman. Besi
dalam tanah dapat berbentuk Fe2+ dan Fe3+. Bentuk-bentuk
besi yang dominan didalam tanah ditentukan oleh kondisi pH dan kondisi aerasi
tanah. Senyawa Ferric memiliki kelarutan yang rendah di dalam larutan tanah,
namun apabila kondisi mendukung maka pembentukan senyawa ini akan menurunkan
ketersediaan Fe bagi tanaman.
·
Ketersediaan
Besi dalam Tanah
Konsentrasi besi
dalam larutan tanah menurun tajam dengan adanya peningkatan pH, pada pH
berkisar 7,4-8,5. Pada kondisi pH tersebut mampu menyebabkan terjadi kondisi
defisiensi Fe bagi tanaman, dapat juga terjadi pada tanah berkapur. Pada pH
normal dan terdapat oksigen yang cukup, kandungan besi ferrous yang terlarut
akan dioksidasi menjadi ferric yang mudah terhidrolisa membentuk endapan ferric
hidroksida yang tidak larut dan mengendap di dasar perairan sehingga membentuk
warna kemerahan pada substrat dasar. Kadar besi yang tinggi terdapat pada air
yang berasal dari air tanah dalam yang bersuasana anaerob atau dari lapisan
dasar perairan yang sudah tidak mengandung oksigen. Pada kondisi aerobik, besi
oksida dan hidroksida sangat stabil tetapi dalam kondisi anaerob pada kondisi
nilai potensial redoks rendah menjadi mudah larut melalui proses protolisis
maupun reduksi (Annisa dan Eko, 2013).
Gambar
1. Hubungan antara pH dan potensial redoks terhadap ketersediaan besi.
Gambar 1
merupakan diagram stabilitas yang menunjukkan bentuk/spesies dominan dari besi
yang stabil pada kondisi potensial redoks dan pH yang spesifik. Pengendapan
besi ditentukan oleh kisaran nilai pH dan potensial redoks. Potensial redoks
akan menentukan besi mengalami oksidasi atau reduksi. Diagram di atas
menunjukkan bahwa pada kondisi kemasaman sedang, FeOOH akan larut menjadi Fe2+.
Sedangkan Fe3+ akan dominan pada kondisi sangat oksidatif dengan
nilai potensial redoks >400 mV dan pH < 2. Bentuk besi yang stabil adalah
dalam bentuk Fe2+. Kemudian siderit (FeCO3) terbentuk
pada kondisi reduksi sedang dan pH >7. Besi akan stabil pada kondisi yang
sangat reduktif.
Defisiensi besi
terjadi ketika musim dingin, tanah tergenang, ketika aktivitas mikroba dan
pertumbuhan akar terbatas. Aktivitas mikroba dan peningkatan poliferasi akar
memungkinkan tanaman untuk menyerap lebih banyak besi dari dalam tanah.
Aktivitas mikroba yang tinggi dapat mereduksi oksigen dalam tanah asam sehingga
senyawa oksida hidroksida besi akan diubah menjadi bentuk besi yang larut
(tersedia). Disisi lain, kondisi tanah basa respirasi mikroba yang cepat
menghasilkan karbondioksida yang cukup untuk bereaksi dengan air membentuk ion
bikarbonat. Ion bikarbonat menyebabkan immobilisasi besi dalam tanaman,
sehingga terjadi defisiensi.
·
Peran
Bahan Organik terhadap Pembentukan Senyawa Besi
Besi oksida
memiliki kemampuan membentuk kompleks logam-organik dimana kation logam akan
terikat oleh kelompok gugus fungsional seperti -COOH, =CO, -OH, -OCH3, -NH2,
-SH, dan sifatnya sangat stabil yang disebut khelat. Bahan organik meningkatkan
ketersediaan besi dengan pembentukan senyawa dengan besi sehingga mengurangi
fiksasi secara kimia atau pengendapan besi menjadi ferric (Fe3+)
hidroksida. Penurunan fiksasi dan presipitasi menghasilkan konsentrasi besi
yang lebih tinggi dalam larutan tanah yang tersedia bagi tanaman. Bahan organik
juga dapat mempengaruhi ketersediaan besi dengan bertindak sebagai penyuplai
energi bagi mikroorganisme yang menggunakan oksigen dalam kondisi tergenang.
Ketika mikroorganisme menguraikan bahan organik, besi yang semula terikat pada
senyawa organik akan dilepaskan dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman
(mineralisasi). Terdapat beberapa bahan organik yang berfungsi sebagai sumber besi
dari kotoran ternak yang mengandung 0,5-5,0 lb/ton besi.
·
Sumber
Besi
Tabel
1. Pupuk Fe dalam berbagai sumber, konsentrasi, dan cara aplikasi.
Defisiensi besi
pada tanaman sulit diperbaiki karena transformasi yang cepat dari sumber
(pupuk) Fe yang diberikan menjadi besi yang tidak tersedia di dalam tanah.
Pengkhelatan besi dalam tanah dapat dilakukan, namun pH dan kehadiran unsur
lain seperti kalsium mempengaruhi kekuatan khelat untuk kondisi tertentu.
FeEDDHA mempertahankan besi dalam bentuk larut pada ph 4-9 dan merupakan
pilihan yang tepat pada tanah-tanah berkapur. Sedangkan FeDTPA dapat
diaplikasikan pada tanah dengan pH hingga 7,5. FeEDTA paling efektif dan akan
stabil pada pH 6,3, dimana pada pH tersebut jarang jerjadi defisiensi besi.
Penggunaan pengkhelat diterapkan dengan rekomendasi produsen dengan 0,5-2 lb/a
besi atau 0,1-0,15 besi sebagai pupuk daun.
Gambar
2. Kemampuan menahan besi terhadap kondisi pH oleh sumber Fe dari pengkhelat
yang berbeda.
Ferrous sulfat
dan ferrous ammonium sulfate digunakan sebagai pupuk daun dengan konsentrasi
2-3% atau dengan dosis 20 gal/a. Ferrous sulfat telah banyak dilakukan untuk
mengatasi defisiensi Fe pada rumput. Aplikasi pupuk daun mengurangi fiksasi dan
efek pengasaman tanah oleh pupuk sehingga meningkatkan efisiensi (serapan).
Untuk tanaman tahunan pengasaman lokal tanah-tanah berkapur merupakan solusi
alternatif dalam upaya mengatasi defisiensi besi. Bakteri sulfur dalam tanah
mengoksidasi unsur sulfur menjadi asam sulfat, kemudian asam sulfat melarutkan
oksida besi yang tersedia dan dapat dimanfaatkan bagi tanaman.
·
Serapan
Besi oleh Akar Tanaman
Sebagian besar
besi diambil oleh tanman dalam bentuk ferrous (Fe2+). Namun, karena
sebagian besar lahan pertanian mengandung besi dalam bentuk ferric (Fe2+).
Sehingga pertama-tama tanaman harus mengubah/ melarutkan Fe3+
menjadi Fe2+ yang kemudian dapat melewati membran plasma rambut akar
(plasmalemma). Mekanisme penyerapan besi oleh akar bervariasi antara spesies dan adanya perbedaan antara tanaman
dikotil dan monokotil. Dalam spesies dikotil (pada kebanyakan tanaman
pertanian) penyerapan unsur besi secara aktif membutuhkan energi.
Gambar
3. Mekanisme penyerapan besi oleh tanaman dikotil melalui akar.
Rambut akar tanaman
melepaskan proton (ion H+) dan eksudat ke tanah sekitarnya. Proton
membantu melarutkan Fe3+, dengan menurunkan pH dan mendukung khelasi
ion Fe3+ oleh eksudat jenis fenolik. Pada permukaan rambut akar
(plasmalemma), khelat ferric direduksi
menjadi khelat ferrous yang mudah larut sehingga membebaskan Fe2+
untuk dapat diserap oleh rambut akar. Didalam rambut akar Fe2+
dioksidasi menjadi Fe 3+ dan kemudian datanglah peran ion sitrat
sebagai pengkhelat dari Fe3+ yang terbentuk (Anonim, 2015). Khelat
besi-sitrat kemudian diangkut melalui xilem ke zona pertumbuhan tanaman.
Setelah besi ditranslokasikan, besi relatif tetap hanya ditransformasi dari
organ ke organ. Hal ni dapat dijelaskan pada penelitian dengan menggunakan
radioaktif isotop (Fe-59) yang dapat melacak pergerakan Fe dalam jaringan
tanaman.
Gambar 4. Pola serapan
Fe-59 dengan daun tomat klorosis. Bagian kiri hasil photograph normal (hitam=hijau) dan sebelah
kanan autoradiograf daun yang sama. Distribusi Fe-59 sesuai persis dengan
bidang penghijauan.
Ketika tanaman
mengalami defisiensi besi, tanaman akan melakukan adaptasi dengan mekanisme
masing-masing yang berbeda. Beberapa tanaman mengatasi ketersediaan besi yang
rendah dengan mengeluarkan ion Hidrogen (H+) dari akar. Ion H+
akan menurunkan pH pada permukaan akar dan meningkatkan kelarutan besi dari
hidroksida besi. Beberapa tanaman lain mengeluarkan (sekresi) senyawa organik
yang menguraikan ferric menjadi bentuk besi yang lebih larut.
Mekanisme-mekanisme tersebut dapat ditemukan pada beberapa tanaman seperti
alfalfa, jagung, dan biji-bijian kecil yang toleran terhadap ketersediaan Fe
rendah, serta beberapa buah dan tanaman hias yang sensitif terhadap kondisi Fe
rendah. Ketentuan ketersediaan besi pada beberapa tanaman dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel
2. Kebutuhan besi pada beberapa tanaman pangan (ppm).
·
Pemasaman
Tanah pada Lahan Pasang Surut
Tingginya
kelarutan besi merupakan salah satu permasalahan dalam pemanfaatan tanah sulfat
masam untuk budidaya tanaman pangan khususnya padi sawah. Besi (Fe) dalam tanah
sulfat yang sering menimbulkan masalah adalah bentuk ferro (Fe2+)
pada kondisi tergenang menyebabkan keracunan tanaman padi (Noor, 2004 dalam Susilowati dan dedy, 2013). Pada
kondisi kemasaman sedang FeOOH akan larut menjadi Fe2+, sedangkan Fe3+
akan dominan pada kondisi sangat oksidatif dengan nilai potensial redoks
>400 mV dan pH < 2. Bentuk besi yang stabil adalah dalam bentuk Fe2+.
Tanah sulfat
masam merupakan salah satu jenis tanah yang terdapat di lahan rawa dengan kandungan
pirit yang tinggi. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal oktahedral
dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan
marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung
senyawa sulfat (SO4) larut. Pirit (FeS2) terbentuk dari
oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida atau unsur S yang diikuti dengan
pembentuksan FeS dari sulfida terlarut atau besi oksida (FeOOH, Fe2O3),
atau mineral silikat mengandung unsur Fe. Reaksi keseluruhan pembentukan pirit,
dari besi-oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe sebagai
berikut:
Fe2O3
+ 4SO42- + 8CH2O + ½O2 → 2FeS2
+ 8HCO3- +4H2O
Oksida
besi + sulfat + bahan organik → PIRIT + karbonat
Permasalahan di
tanah sulfat masam muncul ketika pirit teroksidasi akibat tereksposenya pirit
karena kekeringan yang panjang maupun setelah dilakukan drainase atau pembuatan
saluran. Oksidasi pirit akan menghasilkan asam sulfat yang menyebabkan pemasaman
tanah karena setiap satu mol pirit akan menghasilkan empat molukel asam sulfat.
Reaksi oksidasi pirit sebagai berikut:
FeS2 + 15/4 O2
+ 7/2 H2O → Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4H+
PIRIT + oksigen → besi-III (koloidal) + asam sulfat
Hasil reaksi
oksidasi pirit adalah dihasilkannya besi-III koloidal (Fe(OH)3).
Sebagian besar dari besi-III koloidal yang terbentuk, pada akhimya mengkristal menjadi
oksida besi (goetit) yang berwarna coklat kemerahan, berupa karatan, selaput
atau nodul-nodul dalam tanah dan dinding- dinding saluran drainase (Subagyo, 2006).
Tetapi pada
kondisi oksidasi yang sangat kuat karena terangkatnya bahan endapan marin ke permukaan
akan menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna
kuning jerami, yang juga sangat masam. Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi
(potensial redoks > 400-500 mV) pada lingkungan masam (pH 2-4). Reaksi
oksidasi pirit menghasilkan mineral jarosit digambarkan pada reaksi di bawah
ini:
FeS2 + 15/4 O2
+ 5/2 H2O + 1/3 K+ → 1/3 Kfe3(SO4)2(OH)6
+ 4/3 SO4 + 4H+
PIRIT+ oksigen → Mineral jarosit
Pada tanah
sulfat masam baik goetit maupun jarosit terdapat dalam mineral deposit.
Berdasarkan hasil penelitian Stahl, D.S. Fanning, dan B.R. James (1993) bahwa
pembentukan goetit lebih cepat dibandingkan jarosit karena goetit dapat
terbentuk oleh hidrolisis Fe3+ atau proses hidrolisis yang diikuti dengan
proses dehidrasi, sedangkan jarosit terbentuk dari banyak jenis ion (seperti:
SO4 2-, K+, Fe3+, OH) yang diperlukan untuk membentuk mineral tersebut. Mineral
jarosit mengalami perubahan bentuk menjadi oksida melalui proses hidrolisis
(Stahl dkk., 1993).
Ameliorasi di
tanah sulfat masam perlu dilakukan dengan maksud agar reaksi tanah menjadi
lebih baik, unsur hara yang tersedia di dalam tanah meningkat, dan penambahan
unsur hara dari luar lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman. Bahan amelioran dapat berupa kapur (kalsit atau dolomit), bahan
organik, abu sekam, pupuk kandang, dan lain-lain. Penggunaan bahan organik
sangat dianjurkan karena selain dapat memperbaiki kondisi tanah, juga dapat
menyediakan unsur hara bagi tanaman. Ameliorasi
dan pemupukan harus mempertimbangkan jenis komoditas yang akan diusahakan dan
tipologi lahan yang akan digunakan. Tanaman kedelai memerlukan kapur lebih
banyak dibandingkan jagung dan padi karena kedelai lebih sensitif terhadap
kemasaman dibandingkan komoditas lainnya. Demikian pula tipologi lahan sulfat
masam memerlukan kapur lebih tinggi dibandingkan potensial karena kemasamannya
juga lebih tinggi. Rekomendasi Balittra (2003) ameliorasi dan pemupukan pada
lahan sulfat masam yaitu:
Tabel
3. Dosis rekomendasi pemupukan tanaman pangan pada lahan sulfat masam.
·
Adsorbsi
Fosfat oleh Oksida Besi
Reaktivitas
jerapan besi oksida terhadap ion-ion dalam tanah dipengaruhi oleh muatan
positif dan negatif dari permukaan besi oksida (Bohn 2003 dalam Annisa dan Eko 2013 ). Adapun prinsip dari adsorbsi ion oleh
oksida besi adalah ikatan binuklear yang kuat di permukaan oksida besi. Sifat
permukaan oksida Fe yang meliputi: wilayah permukaan spesifik (spesific surface
area), muatan permukaan (surface charge), porositas permukaan (surface
porosity) dan permukaan geometry (surface geometry) (Liu 1999). Mekanisme
serapan anion (contohnya fosfat) oleh oksida besi yaitu melalui penggantian
satu ion fosfat oleh dua ion hidroksil permukaan (atau molukel air) dari oksida
besi. Kemudian dua atom oksigen dari ion fosfat tersebut akan berkoordinasi
dengan masing-masing ion Fe3+ yang menghasilkan kompleks permukaan
binuklear dengan model jerapannya adalah: Fe-O-P(O2)-O-Fe (Parfitt et al. 1975 dalam Buckman, Harry O., dan Nyle C.
Brady, 1982).
Mekanisme
adsorbsi P oksida besi melalui dua cara yakni: (1) melalui reaksi PO43-
dan H+ di permukaan oksida Fe sehingga membentuk Kompleks Permukaan
Outsphere (XOH2+-HPO42-); (2) melalui proses
pertukaran ligan yakni dengan masuknya phosphate ke dalam lapisan sehingga
menggantikan ligan OH dan membentuk kompleks permukaan Innersphere (XH2PO4).
Pada tanah sulfat masam penggenangan akan meningkatkan adsorbsi P dalam tanah.
Hasil penelitian Theresa (2002) dalam Annisa
dan Eko (2013) menunjukkan bahwa kapasitas adsorbsi P meningkat akibat penggenangan.
Pada kondisi reduktif besi ferro yang akan dihasilkan. Besi ferro ini memiliki
luas permukaan yang besar dibandingkan kristal oksida, sehingga adsorbsi P meningkat.
Keberadaan ligan
organik dalam tanah sangat diperlukan ketika ketersediaan Fosfat menjadi
perhatian. Tanaman selalu respon terhadap defisiensi P akibat pelepasan dari
ligan organik melalui: pelarutan dari mineral fosfat dan peningkatan adsorbsi P
akibat terganggunya kristalisasi oksida Fe. Sitrat merupakan penyebab dari
desorpsi P pada pH < 7 dan pengaruh yang besar pada pH 4,5-5,0. Ligan
organik (sitrat, malat, oksalat, dan fumarat) berkompetisi kuat dengan fosfat
untuk menduduki loka jerapan membentuk ikatan komplek inner-sphere. Selain itu
ligan organik juga mampu mengkelat (Al, Fe, Ca) agen pengikat fosfat yang
mengendap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ligan sitrat pada
konsentrasi yang rendah (rasio ligan/Fe(II) 0,001) dalam larutan akan
menurunkan secara nyata kecepatan adsorbsi P, sehingga memperbaiki kristalisasi
lepidokrosite dan merubah sifat permukaan oksida Fe, sedangkan kehadiran sitrat
pada konsentrasi yang tinggi (rasio ligan/Fe(II) 0,1) akan meningkatkan
kecepatan adsorbsi P (Liu 1999). Ligan
organik tersebut merupakan asam organik yang memiliki berat molukel rendah di
dalam tanah konsentrasinya berkisar dari 10-5 sampai 10-3M. Kehadiran ligan
akan menghambat laju oksidasi besi melalui pembentukan kompleks Fe(II)-ligan.
Adapun urutan untuk ligan organik yang menghambat laju oksidasi besi meliputi:
oksalat > asetate > tartrat > sitrat. Asam organik ini umumnya
merupakan hasil dari proses dekomposisi bahan organik maupun metabolisme oleh
mikroorganisme dan juga eksudat dari akar tanaman. Oksalat berperan dalam
pembentukan lepidokrosite. Sedangkan tartrat dan sitrat menghambat proses
kristalisasi besi oksida.
Sumber
Anonim.
2015. Iron in particular. [edisi Online]http://www.solufeed.com/uk-horticulture/horti-crop-nutrition/iron-in-particular.aspx
Annisa,
W., dan Eko, H. 2013. Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Oksida Besi di
Tanah Sulfat Masam. Jurnal Sumberdaya
Lahan Vol 7 No 1 – 2013
Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balitra). 2003. Lahan Rawa Pasang Surut Pendukung Ketahanan pangan dan Sumber
Pertumbuhan Agribisnis. Monograf.
Buckman,
Harry O., dan Nyle C. Brady. 1982. Ilmu
Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta
Liu,
C. 1999. Surface Chemistry of Iron Oxide
Mineral Formed in Different Ionic Environment. A. Dissertation. Departement
of Soil Science, University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada.
Noor,
M. 2004. Lahan Rawa.; Sifat dan
Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Hlm 241.
Subagyo,
H. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan
Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Susilawati,
Ani dan Dedi Nursyamsi. 2013. Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan
Produktivitas Tanah Sulfat Masam Berkelanjutan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7
No 1 – 2013
Stahl,
R.S, D.S. Fanning, and B.R. James. 1993. Goetit and jarosite precipitation from
ferrous sulfate solution. Soil Science
Society American Journal. Vol. 57. January-February.







