Perubahan penggunaan lahan dan
kehutanan (Land use change and forestry) merupakan penyumbang emisi
karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20%
dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi
perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi,
dan menghindari penebangan hutan dan degradasi hutan (REDD). Dari ketiga
kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling
besar. Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan
negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan
melalui proyek Aforestasi/Reforestasi (A/R CDM). Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun
lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi
adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi
hutan ( Kardono, 2010 ).
Perdagangan
karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2
di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang
membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan
yang sudah distandardisasi. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer
memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi
yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon Pemilik yang
mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan
akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa
juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi
mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain. Perdagangan karbon tidak hanya
terbatas pada mekanisme sekuestrasi, tetapi juga adanya teknologi-teknologi
baru yang bersifat mengurangi emisi, seperti kegiatan yang dilakukan dalam
rangka mekanisme pembangunan bersih. Salah satu proyek yang dilakukan di Aceh
yaitu kompor gas tenaga surya. Proyek ini menyediakan 1.000 unit kompor gas
tenaga surya, dimana proyek ini diharapkan mampu mengurangi CO2 sebesar 3.500
ton/tahun ( Rajak, 2004 ).
Sistem ini menempatkan keseluruhan karbon terestrial suatu
negara dalam dua kategori: karbon terrestrial yang secara efektif dilindungi
(menurut undang-undang atau tidak dapat diakses karena kendala-kendala
biofisika dan ekonomis) agar tidak terlepas, dan semua karbon terestrial
lainnya. Karbon terestrial yang dilindungi harus dipertahankan. Semua karbon
terestrial lain dapat dilepaskan dalam suatu periode tertentu. Sistem ini
memberi insentif jangka pendek dan jangka panjang dalam mengubah hasil
tersebut,dengan menyadari adanya aturan-aturan mengenai pengelolaan lahan yang
dibuat di dalam negara negara tersebut ( Carbon Tersterial, 2008 ).
Perhitungan
bisnis karbon sangat sederhana setiap upaya penuruna emisikarbon setara dengan
1 (satu) ton karbon (tCO2) akan di beri 1 (satu) CER (certified emission
reduction). Sertifikat yang mirip surat berharga yang dikeluarkan oleh Badan
Eksekutif CDM di bawah UNFCCC. Negara industry yang meratifikasi ProtocolKyoto
disebut sebagai ANNEX-1. Negara atau lembaga non pemerintah dapat membeli CER
dari negara berkembang (NON ANNEX-1) yang tidak diwajibkan mengurangi emisi
karbon. Layaknya sistem dagang harga CER dapat bervariasi tergantung
kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi, rata-rata harga CER 5-15 US $. Jika
suatu proyek CDM dapat menjual 1 juta ton CO2e dalam setahun, maka pendapatan
kasar yang dipeoleh dapat mencapai 5 - 15 juta US$ dari penjualan CER yang
tentunya buka jumlah yang sedikit. Perlu diketahui reduksi emisi karbo, bukan
berarti semata-mata karbon yang ada di udara langsung terkurangi tetapi
semata-mata upaya menekan bertambahnya emis GRK akibat penggunaan BBM ( Napitu,
2007 ).
REDD
(Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation) adalah
kegiatan pencegahan deforestasi dan kerusakan hutan) yang dimaksudkan untuk
menurunkan emisi karbon ke atmosphere. Di bawah aturan UNFCCC, REDD merupakan
salah satu mekanisme CDM (Clean Development Mechanism). Melalui mekanisme ini,
pihak-pihak yang berhasil menurunkan emisi karbon berbasis hutan melalui
kegiatan rehabilitasi hutan dan pengelolaan hutan secara lestari sesuai dengan
standart-standard yang diakui pasar karbon, akan menghasilkan kredit karbon
yang kemudian bisa diperjual belikan di pasar karbon. REDD sebagai kegiatan
ekonomi karbon, bergantung kepada mekanisme pasar karbon. Dalam konteks ini
proyek REDD bisa dilakukan di mana saja di dunia ( Satgas RDD )
Perubahan
iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung
atau tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer
global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode
waktu tertentu. Sebab utama fenomena perubahan iklim adalah terus meningkatnya
konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Upaya masyarakat internasional
menghadapi fenomena perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya United
Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992 di Rio de
Janeiro, Brasil. Tiga tahun setelah itu, diadakan Conference of the Parties
(COP) pertama di Berlin, Jerman. Pada COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto Jepang, para
pihak (terutama negara-negara maju/industri) sepakat menurunkan tingkat emisi
mereka pada tahun 2008-2012 sebesar 5 % di bawah tingkat emisi di tahun 1990.
Protokol Kyoto mengatur 3 mekanisme penurunan emisi yang fleksibel bagi
negara-negara industri. 3 mekanisme tersebut adalah:
1.
Clean Development Mechanism (CDM)
2.
Joint Implementation (JI)
3.
Emission Trading
CDM
memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah
komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target tersebut dalam suatu
kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Proyek tersebut,
untuk dapat “menjual” karbonnya harus mendapat Certified Emission Reduction
(CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Inilah yang membentuk pasar
karbon.
Untuk
memahami bagaimana karbon diperdagangkan, perlu dipahami komoditi apa yang
diperdagangkan dan sistem yang menciptakannya. Ada dua komoditi yang
diperdagangkan, yang pertama adalah apa yang disebut allowance, dan yang kedua
adalah offset. Allowance terbentuk oleh sistem cap-and-trade. Sedangkan offset
terbentuk oleh sistem baseline-and-credit (sering disebut
project-based-system).
Carbon
offset adalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh
perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempat lain) untuk
melakukan usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembeli offset
karbon bermaksud mengganti (atau dalam prinsipnya meng”offset”) emisi karbon
yang telah mereka lakukan dinegaranya.
Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) adalah sebuah inisiatif global untuk mengurangi
emisi karbon hutan di atmosfer. Hal ini dilakukandengan pemberian insentif
kepada negara-negara yang masih memiliki hutan untuk melindungi atau
mempertahankan hutan yang ada secara jangka panjang dengan kualitas hutan yang
baik atau setidaknya sama, dimana atas usaha tersebut mereka akan diberikan
kompensasi berdasarkan pendapatan yang dapat mereka memperoleh jika
mengkonversi hutan tersebut untuk pertanian atau penggunaan lahan lainnya. REDD+
secara khusus bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dari deforestasi
dan degradasi hutan, namun tidak menutup kemungkinan adanya manfaat penting
lainnya yang dapat dicapai oleh usaha ini, seperti pengurangan kemiskinan dan
konservasi keanekaragaman hayati. Jika berhasil, inisiatif ini dapat membantu melindungi
dan meningkatkan hutan dunia sebagai penyimpanan karbon dan memaksimalkan
potensinya dalam memperlambat dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Perdagangan karbon hutan
adalah pertukaran uang oleh pembeli kepada penyedia atas upaya penyerapan dan
penyimpanan karbon dalam biomassa hutan. Pasar karbon hutan berarti ekonomi
dimana produsen atau penjual karbon (misalnya pengelola hutan dan masyarakat) menerima
kompensasi dari pembeli (misalnya: pemerintah dan perusahaan tertentu) untuk upaya
konservasi hutan mereka. Sebagai imbalannya, para pembeli mendapatkan
sertifikasi tertulis atas karbon yang disimpan atau yang dikenal sebagai kredit
karbon. Pasar karbon hutan yang melibatkan kompensasi untuk pelestarian dan
mempertahankan karbon di hutan. Operasi dan rancangan dari pasar karbon hutan
internasional hingga saat ini masih diperdebatkan
di tingkat internasional, walaupun telah ada sejumlah kecil praktek proyek REDD+
non pemerintah yang melakukan perdagangan karbon sukarela di beberapa tempat di
dunia. Sangat mungkin bahwa pasar karbon hutan internasional tidak akan ada
sebelum tahun 2020, meskipun beberapa negara akan memiliki pasar karbon sendiri
(misalnya Australia dan California) dan mungkin mulai melakukan pembelian
kredit REDD+ secara internasional lebih awal.
Kontributor
terbesar pemanasan global saat ini adalah karbon dioksida (CO2) dan metana
(CH4) yang dihasilkan pertanian dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan
hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang
digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya
berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon
yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.
Selama dekade terakhir ini emisi CO2 meningkat dua kali lipat dari 1400 juta
ton per tahun menjadi 2900 juta ton per tahun.
Indonesia
sendiri saat ini berada dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar
di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah
emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10%
dari emisi CO2 di dunia. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat
penting terutama bagi wilayah pesisir. Salah satu fungsi ekologis mangrove yang
saat ini tengah diperbincangkan adalah mangrove sebagai penyimpan karbon. Mangrove
menyimpan karbon lebih dari hampir semua hutan lainnya di bumi. Ekosistem
mangrove berperan dalam mitigasi perubahan iklim akibat pemanasan global karena
mampu mereduksi CO2 melalui mekanisme “sekuestrasi”, yaitu penyerapan karbon
dari atmosfer dan penyimpanannya dalam beberapa kompartemen seperti tumbuhan,
serasah dan materi organik tanah (Hairiah dan Rahayu., 2007). Karbon yang diserap
tumbuhan selama fotosintesis, bersamasama dengan nutrien yang diambil dari
tanah, menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan (Setyawan et al., 2002).
|
Tabel 1 sumber :Tomich et. al., dalam Hairiah
2008
|
Estimasi
cadangan carbon dilakukan dengan cara mengukur diameter batang pohon setinggi dada
(diameter at breast height, DBH), yang terdapat pada plot penelitian. Kemudian
DBH digunakan sebagai variabel bebas dari persamaan alometrik yang
menghubungkan biomassa sebagai variabel terikat dan DBH sebagai variabel bebas.
Penelitian tentang estimasi stok karbon pada tegakan mangrove dirasa penting
karena dengan mengetahui jumlah karbon yang mampu diserap oleh mangrove, kita
akan lebih memahami manfaat ekologi mangrove sebagai penyerap karbon sehingga
usaha konservasi mangrove dalam rangka mengurangi pemanasan global serta
sebagai usaha perdagangan karbon dapat lebih ditingkatkan.
a. Pengukuran
Biomassa Pohon
Membagi
area hutan mangrove menjadi 2 zona; zona pasang terendah dan pasang tertinggi.
Membuat plot berukuran 5 m x 40 m = 200 (Hairiah dan Rahayu, 2007). Plot dipasang
pada zona yang telah ditentukan. Pemilihan plot pada lokasi dengan vegetasi mangrove
seragam serta tidak terlalu rapat dan jarang. Kemudian pada setiap sudut plot
diberi tanda dengan tali. Membagi plot menjadi 2 bagian, dengan memasang tali
di bagian tengah sehingga terdapat sub plot, masing-masing berukuran 2.5 m x 40
m. Pada setiap subplot dibagi lagi menjadi 3, sehingga dalam 1 plot berukuran 5
m x 40 m terdapat 6 buah sub plot.
b. Pengukuran
Nekromasa Berkayu
Nekromassa
berkayu adalah pohon mati yang masih berdiri maupun yang roboh, tunggul-tunggul
tanaman, cabang dan ranting yang masih utuh yang berdiameter > 5cm dan panjang
0,5m. Langkah kerja mengukur nekromassa berkayu adalah mengukur diameter (lingkar
batang) dan panjang (tinggi) semua pohon mati yang berdiri maupun yang roboh, tunggul
tanaman mati, cabang dan ranting. Menghitung massa jenis dari nekromassa berkayu
dengan cara mengambil sedikit contoh kayu ukuran ±10 cm, diukur panjang,
diameter dan ditimbang berat basahnya dengan memasukkan dalam oven pada suhu
100oC selama 48 jam dan ditimbang berat keringnya. Perhitungan volume dan BJ
kayu dengan rumus:
Volume
(cm3) = ρ R2 T
Dimana
:
R
= jari-jari potongan kayu
= ½ x Diameter (cm)
T
= panjang kayu (cm)
c. Pengukuran
Nekromasa Tidak Berkayu
Nekromasa
tidak berkayu adalah seresah daun yang masih utuh (seresah kasar), dan bahan
organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (seresah
halus). Langkah kerja mengukur nekromassa berkayu adalah sebagai berikut: Menempatkan
kuadran bambu, kayu atau aluminium berukuran 0,5 m x 0,5 m di dalam SUB PLOT (5
m x 40 m) secara acak. Mengambil semua sisa-sisa bagian tanaman mati, daun-daun
dan ranting-ranting gugur yang terdapat dalam tiap-tiap subplot, masukkan ke dalam
kantong kertas dan diberi label sesuai dengan kode subplot. Semua sampel yang
didapat dikeringkan di bawah sinar matahari, bila sudah kering sampel digoyang-goyangkan
agar tanah yang menempel pada sampel terpisah. Nekromassa merupakan pohon mati
(baik yang masih berdiri maupun yang sudah roboh) yang terdapat pada plot
penelitian. Perhitungan stok karbon nekromassa dilakukan dengan mengukur
diameter pohon mati pada plot penelitian.
Konspirasi
politis-ideologis negara Kapitalis di balik MoU C-Tarding
Perdagangan
karbon/carbon trading mungkin saja berupa taktik atau strategi negara-negara
maju untuk menguasai atau mengkambinghitamkan negara-negara maju dari polusi
udara (emisi) yang mereka buat. Tidak ada jaminan bahwa negara-negara industri
akan mengurangi emisi carbon yang dihasilkannya. Kemungkinan besar secara
logika mereka akan semaki mengeksploitasi alam dan menghasilkan lebih banyak emisi lagi karena
sudah merasa membayar kompensasi dari adanya C-trading.
Pada
suatu saat nanti penandatanganan MoU C-trading akan merugikan bagi
negara-negara berkembang sebagai pemilik hutan. Mungkin saja negara maju
nantinya akan juga merasa memiliki hutan yang dimiliki negara-negara berkembang
karena mereka telah ikut membiayainya. Akibatnya negara-negara berkembang
termasuk Indonesia sebagai pemilik hutan kemungkinan besar hanya menjadi
penjaga hutan dari hutan-hutan yang telah dibayar oleh negara-negara industri.
Setelah menerima uang kompensasi maka negara berkembang tidak lagi dapat mengeksploitasi
hutannya karena telah diawasi oleh negara-negara maju yang merasa juga memiliki
hutan yang telah mereka bayar. Padahal, masih banyak potensi-potensi dari hutan
yang dapat dimanfaatkan. Seperti di Kal-Teng, dari 10 juta hektare kawasan
hutan dan 3 juta hektare kawasan gambut memiliki sekitar 6,3 juta Giga ton
deposit karbon (Bpost, 14/11). Kemudian, potensi lain berupa bahan
galian seperti emas primer (28.620 ton), emas alluvial (10.947 ton), besi
(1.452.640 ton), kaolin (38.584.000 ton), dan kristal kuarsa (18.755.640 ton),
semuanya terancam lepas dari kepemilikan rakyat Indonesia bila terjadi perstujuan
MoU oleh Pemerintah (Sukamto, 2009).
Selain
itu, masalah sosial juga akan terjadi pada masyarakat yang hidup sekitar hutan.
Masyarakat yang ketergantungannya tinggi dari melakukan usaha pertanian dengan
pembukaan lahan di tepi hutan akan merasa dirugikan akibat peraturan yang akan
muncul setelah MoU disetujui oleh pemerintah. Yang seharusnya terjadi adalah
negara maju sebaiknya memiliki hutannya sendiri dengan membuatnya sendiri pada
wilayahnya (sesuai potensi alamnya). Dengan demikian setiap negara dapat mempertanggungjawabkan
emisi yang dihasilkan.
Pada beberapa
penjelasan yang telah di uraikan pada
bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Perdagangan karbon hutan adalah pertukaran uang oleh pembeli kepada
penyedia atas upaya penyerapan dan penyimpanan karbon dalam biomassa hutan.
2.
Latar belakang timbulnya Carbon trading adalah maraknya isu global
warming sehingga ditetapkannya protokol kyoto yang berisi mekanisme penurunan
emisi, yaitu : 1. Clean Development Mechanism (CDM)
2. Joint Implementation (JI)
3. Emission Trading
3. Penjualan carbon harus mendapat Certified
Emission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2.
4.
Penghitungan Carbon pada tanaman berupa pengukuran biomassa pohon, pengukuran
nekromasa berkayu dan pengukuran nekromasa tidak berkayu.
5.
Permasalahan yang timbul adalah kemungkinan adanya konspirasi politis-ideologis
negara kapitalis di balik MoU C-Tarding.
Sumber:
Carbon Tersterial. 2008. Bagaimana Menjadikan Karbon
Terestrial diNegara-negara Berkembang Sebagai Bagian Dari Solusi Perubahan
Iklim yang Menyeluruh. terrestrialcarbon.org
Hairiah,
K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘karbon tersimpan’ di berbagai macam penggunaan
lahan. World Agroforestry Centre.
ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia.
Hairiah,
K., Widianto, dan Didik P. 2008. Adaptasi Dan Mitigasi Pemanasan Global:
Bisakah Agroforestri Mengurangi Resiko Longsor Dan Emisi Gas Rumah Kaca?. Pendidikan
Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Perubahan Iklim Global. UNS, Surakarta.
Kardono. 2010. Memahami Perdagangan Karbon. Pusat
Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan, Jakarta
Napitu, Posman Ja. 2007. Sistem Pengelolaan Hutan
Upaya Penurunan Emisi Karbon dalam Pengembangan Proyek CDM
Rajak, Abdul. 2004. Kelayakan Kompensasi Yang DitawarkanDalam Perdagangan Karbon.Program
Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manajemen Konservasi SumberDaya Aalam Dan
Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Satgas RDD. REDD+
untuk Menguatkan Ekonomi Rakyat/Masyarakat Adat di Indonesia. Term of Reference
Setyawan,
A. D., Susilowati, and A., Sutarno. 2002. Biodiversitas
genetik, spesies dan ekosistem mangrove di jawa petunjuk praktikum
biodiversitas; studi kasus mangrove. Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta
Sukamto.
2009. Carbon Trading Solusi Global
Warming?. http://hasan1924.wordpress.com/2009/02/11/carbon-trading-solusi-globall-warming

