Defisit air pada tanaman dapat diukur berdasarkan kandungan air dalam tanah yang dapat diserap oleh tanaman. Pada Gambar 1, presentase air yang dapat diserap oleh tanaman, menunjukkan bahwa air yang tersedia bagi tanaman (Plant Available Water/PAW) yaitu berkisar 10kPa hingga 1000 kPa, batas ini  merupakan jumlah air yang tersedia didalam tanah pada batas kapasitas lapang. Namun, hanya Readily available water (RAW) yang dapat diserap oleh tanaman khususnya pada tanah yang berteksture halus. RAW adalah air yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya sehingga pertumbuhannya tidak terhambat. Dapat diartikan bahwa besarnya kebutuhan air atau evapotranspirasi dapat terpenuhi apabila pada kondisi kapasitas lapang (RAW) tersebut. RAW merupakan bagian dari air tanah tersedia yang sangat mudah untuk diambil yaitu berkisar 15kPa hingga 100kPa. Rendahnya kandungan air tanah terjadi jika proses kehilangan air dibiarkan berlangsung terus sehingga energi potensialnya menjadi sangat tinggi (-) dan mengakibatkan tanaman tidak mampu menggunakan air tanah tersebut. Hal ini ditandai dengan layunya tanaman terus menerus huingga mencapai titik layu permanen (Permanent Wilting Point/PWP), sedangkan jumlah air maksimum yang disimpan oleh suatu tanah disebut dengan kapasitas penyimpan air (KPA) atau water holding capacity (WHC).

Gambar 1. Grafik Ketersediaan air di tanah untuk Pertumbuhan dan Pengembangan Tanaman

Unvailable dry merupakan batas kekeringan tanaman atau defisit air yaitu lebih dari   -1000kPa. Defisit air menunjukkan menurunnya konsentrasi air sehingga konsentrsi garam menjadi meningkat mengakibatkan salinitas tinggi dan pH meningkat yang pada akhirnya tanaman merespon untuk membentuk asam agar bercampur dengan basa yang menjadikan tanaman bersifat netral yang pada akhirnya serapan air ataupun mineral berjalan dengan normal. Sedangkan unvailable drainage adalah air yang sudah siap diterima tanaman namun bersifat jenuh dan tidak terdapat pori udara atau oksigen diantara partikel tanah, sehingga tanah tidak mampu mengalirkan air karena tidak adanya potensial air (0). Batas dari unvailable dry ini yaitu kurang dari -10 kPa. Air tanah yang tersedia adalah air yang berada diantara kapasitas lapang (Field Capacity/FC) dan titik layu permanen (Permanent Wilting Point/PWP). Batas FC berada pada 15kPa dan batas PWP berada di 1500kpa. Fungsi tanaman tidak terpengaruh pada suatu penurunan kadar air tanah sampai mencapai titik layu permanen. Jumlah dan laju pengambilan air oleh tanaman tergantung pada kemampuan akar dalam menyerap air dari tanah, serta pada kemampuan tanah untuk memberikan ataupun mengalirkan air ke akar untuk memenuhi kebutuhan transpirasi. Hal ini tergantung pada sifat tanaman diantaranya kerapatan perakaran, kedalaman perakaran, laju perluasan akar, kemampuan fisiologi tanaman untuk terus mengambil air dari tanah dengan kecepatan yang diperlukan untuk menghindari kelayuan serta mempertahankan fungsi tanaman.


Tabel 1. Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen Pada Berbagai Tekstur Tanah

Kapasitas lapang tanah berbeda pada masing-masing tanah berdasarkan persen volume air (jumlah volume air dibandingkan dengan volume tanahnya), bergantung pada jenis atau tekstur dari tanah itu sendiri. Tabel 1, menunjukkan perbedaan kapasitas lapang (FC) dan titik layu permanent (PWP) pada berbagai teksture tanah. Sebagai contoh pada tanah teksture sand,  kapasitas lapangnya 10 v% dan titik layu permanennya 5v%. Berbeda dengan tanah-tanah berat (clay) yang memerlukan lebih banyak air untuk kapasitas lapang (42 v%) dan titik layu permanen pada 30 v% hal ini disebabkan oleh berat volum (BV) untuk masing-masing tanah tersebut yang berbeda.


Gambar 2. Respon Tanaman Terhadap Cekaman Kekeringan atau Stres Air

Cekaman kekeringan yang terjadi pada tanaman memberikan dua pengaruh yang berbeda dalam respon secara cepat maupun secara lambat. Ketika tanaman tiba-tiba mengalami kekeringan, tanaman menggeluarkan respon secepat mungkin. Respon kekeringan yang lebih cepat, menjadikan tanaman lebih sedikit kehilangan air sehingga tanaman lebih mampu bertahan hidup. Respon cepat yang paling sering adalah penutupan stomata. Stomata terdiri dari dua sel penjaga sekitar pori stomata. Ketika stomata terbuka, air dan CO2 memasuki daun melalui stomata pori. Selama stres air pori stomata menutup untuk mengurangi kehilangan air. Sedangkan tanaman yang mengalami cekaman kekeringan berkepanjangan, harus mampu bertahan dengan kadar air rendah dan mempertahankan jumlah minimum air melalui penyerapan air dan retensi. Mengatasi hal tersebut, tanaman merespon stres dengan proses energi untuk mengubah pola pertumbuhan dan kandungan kimia tanaman (Arve, et al., 2011). Misra., et al, (2002) menyatakan bahwa efek yang mempengaruhi tanaman, baik pada morfologi, fisiologi, biokimia maupun respon yang dikeluarkan oleh tanaman bergantung pada skala waktu terjadinya cekaman kekeringan.

Gambar 3. Skala Waktu dari Respon Tanaman Pada Cekaman Kekeringan

Berkurangnya ketersediaan air bagi tanaman terjadi perubahan biokimia dengan tujuan untuk mempertahankan air sebanyak mungkin dan mengabsorbsi air semampunya. Selama stres air, tanaman memproduksi dan menumpuk zat terlarut yang kompatibel seperti gula, poliol dan asam amino untuk menurunkan potensi osmotik dalam sel untuk memfasilitasi penyerapan air dan retensi (Xiong dan Zhu, 2002). Beberapa zat terlarut kompatibel juga berkontribusi untuk menjaga konformasi makromolekul dengan mencegah misfolding atau denaturasi. Tanaman juga menghasilkan ABA dengan konsentrasi yang lebih tinggi selama stres air dan ini mempengaruhi pola pertumbuhan dan toleransi terhadap stres.
Protein late embryogenesis abundant like (LEA)  diproduksi selama stres air yang diatur oleh ABA. Protein LEA bertindak sebagai pendamping, melindungi aktivitas enzimatik (Reyes et al., 2005) dan mencegah misfolding dan denaturasi protein penting. Selain itu, tanaman juga memproduksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menganggu metabolisme tanaman. Timbulnya ROS, megatur antioksidan dalam menanggapi peningkatan ROS selama stres air (Prochazkova et al., 2001, Jaleel et al., 2009b dalam Arve, et al., 2011).

Gambar 4. Metabolisme Adaptasi Terhadap Cekaman Kekeringan atau Stres Air

Selama tanaman mengalami defisit air terjadi perubahan pola pertumbuhan tanaman yang menyebabkan sel-sel kehilangan tekanan turgor dan menyusut. Hilangnya tekanan turgor pada sel menghambat kegiatan turgor seperti ekspansi sel, yang mempengaruhi pertumbuhan seluruh tanaman. Upaya dalam meningkatkan penyerapan air dan mempertahankan tekanan osmotik selama kekeringan, tanaman meningkatkan pertumbuhan akar, daerah penyerapan air menjadi lebih besar, lebih jauh dan pada lapisan tanah lebih dalam. Respon pertumbuhan ini telah ditemukan pada jagung (Djibril et al., 2005, Jaleel et al., 2008, Trachsel et al., 2010).
Stres/cekaman pada tanaman akan mengakibatkan tanaman melakukan suatu mekanisme dalam tubuhnya untuk bertahan hidup atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri pada tanaman secara fisiologis dapat menghasilkan senyawa-senyawa baik berupa eksudat, enzime, dan hormon tertentu. ABA merupakan hormon pemberi signal pada tanaman ketika mengalami stres yang disebabkan oleh kurangnya air, salinitas, suhu dingin, suhu padan, dan chilling. Induksi penutupan stomata merupakan hal yang paling sering diisyaratkan ABA ketika tercekam defisiensi air. Ketika stomata membuka, pompa ATPase H+ dari sel penjaga dan mempolarkan membran yang mengakibatkan aktivasi chanel ion K+ dari dalam (KAT1,KAT2,KAT3).


Gambar 5. Mekanisme membuka dan menutupnya stomata

Anion-anion seperti malat2- dari degradasi pati dan pengangkut NO3- dan Cl merupakan ion yang ikut mengkontribusi penumpukan solute dalam sel yang dapat sebagai perantara impor gula atau dapat digunakan untuk mensintesis gula. Suplai ion kedalam sel penjaga bersamaan dengan transport air melewati saluran air menyebabkan turgor yang dibutuhkan untuk membukanya stomata (Gambar 5 A). Sedangkan pada saat penutupan stomata pompa ATPase berhenti, ion K+ dan air dikeluarkan dari sel penjaga sehingga Ca2+ masuk. Malat dikonversi kembali menjadi pati dan anion-anion seperti NO3- dan Cl- dikeluarkan melalui saluran penembus tipe S dan tipe R.

Gambar 6. ABA sebagai pemacu menutupnya stomata saat tercekam kekeringan

Tanaman memiliki keseimbangan air dengan adanya mekanisme keluar masuknya uap air melalui akar dan daun yang sangat dipengaruhi oleh besarnya potensial air di tanah, tanaman dan udara. Akar yang mengalami cekaman air membentuk ABA lebih banyak dan mentranslokasikan ke daun melalui xilem untuk menutup stomata. Menurut Wilkinson dan Davies dalam Pareek, dkk (2010), selain ABA terdapat juga getah alkalin dalam xilem yang dilaporkan sebagai sinyal lain yang mempengaruhi pergerakan stomata, namun getah alkalin dapat memacu penutupan stomata hanya ketika ABA hadir dalam xilem. Getah alkalin erat hubungannya dengan besaran pH larutan. Tanggapan cekaman kekeringan tanah juga pada perubahan ion anorganik (nitrat, kalsium, dan kalium) dan fitohormon lainnya seperti sitokinin (Stoll dkk dalam Pareek, 2010). Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa sintesis ABA terbesar terletak pada tunas dalam upaya menanggapi defisit air oleh akar (Christmann dkk dalam Pareek dkk, 2010). ABA dari sel parenkim ditranslokasikan dengan bantuan AtABCG25 yang merupakan suatu jenis transporter ABC.

Gambar 7. Biosintesis, Transport dan kerja ABA

ABA ditranslokasikan ke jaringan penjaga dengan memanfaatkan AtABCG22 untuk proses penutupan stomata. ABA kemudian diterima oleh  reseptor yang terdiri dari PYR/PYL/RCAR. ABA akan mengaktifkan kerja dari PP2C (Fosfatase) dan SnRK (Kinase) dalam sel penjaga (Golec, A. D., dan Iwona S., 2013). Kinase menyebabkan stomata menutup dengan cara menghambat pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP di membran plasma sel penjaga. Kinase yang bekerja bebas pada permukaan luar membran plasma sel penjaga membatasi masuknya K+, sehingga K+ ­­dan air merembes keluar, turgor menurun dan stomata menutup (D.A. Cristmann, dkk, 2006). Pengaruh cekaman kekeringan ditunjukkan oleh percobaan dari Socias dkk (1997) yang meneliti semanggi sebagai tanaman penutup tanah dengan perlakuan irigasi normal dan tanpa irigasi/cekaman kekeringan (Gambar 9).
Penurunan transpirasi, penurunan CO2 dan serapan hara selama defisit air disebabkan oleh perubahan jalur metabolisme seperti fotosintesis dan respirasi, serta perubahan dalam penyerapan ion, transportasi dan ekstrusi. Beberapa perubahan ini dapat menyebabkan kerusakan oksidatif. Reactive Oxygen Species (ROS) dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai senyawa seperti DNA, RNA, protein, lipid serta klorofil sehingga merusak membran dan mengubah metabolisme sel yang pada akhirnya menyebabkan penuaan. ROS disebut juga Active Oxygen Specie (AOS) yang merupakan hasil reduksi parsial O2 atmosfer (Carvalho, 2008). Pada dasarnya ada empat bentuk dari ROS seluler, yaitu singlet oksigen (O2), radikal superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (HO) yang berpotensi sebagai sumber oksidasi. ROS memiliki dua efek terhadap kondisi cekaman abiotik, tergantung pada jumlahnya didalam sel. Jika jumlah ROS dipertahankan dalam level yang rendah, maka ROS berfungsi sebagai komponen dalam jalur pensinyalan cekaman, memicu respon pertahanan terhadap cekaman maupun aklimasi. Namun, jika mencapai level fitotoksisitas tertentu, ROS menjadi sangat berbahaya karena menginisiasi kaskade oksidatif yang tidak terkontrol yang menyerang membran sel dan komponen sel lainnya sehingga bisa menyebabkan kematian.
Respon terhadap stres kekeringan, ABA merangsang jalur sinyal yang memicu produksi ROS, yang menyebabkan peningkatan Ca2+ di sitosol. Rangsangan abiotik ROS dalam apoplast yang kemudian berkomunikasi ke bagian dalam sel di mana sinyal mengarah ke peningkatan produksi ROS chloroplastic. Kloroplas dapat lebih memperkuat sinyal dan mengirimkan sinyal tersebut ke inti melalui berbagai jaringan sinyal sitosol. Sinyal apoplastic ROS juga dapat mencapai inti melalui jalur sitosol secara langsung. Panah kuning menunjukkan transmisi intraseluler sinyal ROS diinduksi secara apoplastic dan chloroplastic yang terhubung dengan sel disebelahnya (sinyal lokal) atau "sistemik" pada seluruh tanaman (panah merah) (Gambar 8).

Gambar 8. Mekanime Reactive Oxygen Species (ROS) Pada Cekaman Kekeringan

Produksi ROS ini sendiri secara terus menerus dapat membahayakan tanaman sehingga tanaman  memiliki antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang berfungsi sebagai suatu sistem kooperatif yang sangat efisien. Senyawa utama yang berperan yaitu superoksida dismutase (SOD), enzim dan metabolit dari siklus askorbat-glutation, dan katalase. Enzim-enzim ini terletak pada seluruh bagian sel tumbuhan, kecuali katalase ROS yang secara khusus terletak di peroksisom. SOD adalah enzim yang paling awal merespon serangan ROS dengan cara mengubah superoksida, salah satu ROS yang diproduksi pertama kali menjadi oksigen dan H2O2. H2O2 harus segera dihancurkan karena dapat menyerang protein tiol. Enzim utama yang mengubah H2O2 adalah katalase dan askorbat peroksidase (APX). Namun, keduanya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap ROS dan juga memiliki aturan seluler yang berbeda. Katalase tidak memerlukan suatu reduktan untuk mengubah H2O2, sedangkan APX memerlukan suatu reduktan yaitu askorbat. Pengaruh katalase terhadap H2O2 juga lebih rendah dibandingkan APX terhadap H2O2. Oleh sebab itu, APX, suatu enzim yang terdapat pada tiap bagian sel yang memproduksi ROS, berfungsi sebagai regulator untuk menjaga level ROS intraseluler. Sedangkan katalase yang terletak secara khusus di peroksisom, berfungsi sebagai pembuang kelebihan ROS yang diproduksi di bawah kondisi cekaman. Enzim terakhir dari siklus askorbat/glutation, yaitu glutation reduktase (GR), memiliki peranan penting dalam menjaga jumlah glutation dalam keadaan tereduksi (GSH). GSH dapat berfungsi sebagai antioksidan secara langsung (non-enzimatik), dengan cara mengambil singlet oksigen, superoksida, dan radikal hidroksil (Bartoli,et al. 1999)



Data

Gambar 9. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap asimilasi CO2 (A) konduktansi stomata (g), ditentukan pada tengah hari, potensial air daun ditentukan dini hari (□) atau pada tengah hari (○) dan konsentrasi ABA di xilem dilakukan pada dini hari. Nilai berasal dari rata-rata enam daun yang baru berkembang di bagian atas kanopi, irigasi (simbol tertutup) atau tercekam kekeringan (simbol terbuka).

Request to writer
Tabel 2. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap panjang akar primer dan persentase tanaman jagung yang fertil pada tanaman jagung (Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama pada kolom atau oleh huruf kecil yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%, MT = medium toleran, dan PK = peka).

Asimilasi CO2 pada tanaman semanggi yang tercekam kekeringan cenderung mengalami penurunan walaupun terjadi peningkatan pada 15 hari setelah perlakuan. Model grafik dari asimilasi CO2  menyerupai model dari konduktansi stomata (Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh asimilasi CO2 yang terjadi pada reaksi gelap di siklus kelvin membutuhkan CO2 yang di fiksasi melalui stomata, dimana stomata merupakan lubang tempat pertukaran gas pada tanaman. Nilai potensial air pada daun juga memiliki korelasi yang positif terhadap konduksi stomata dan tingkat asimilasi CO2 pada saat tanaman semanggi tercekam kekeringan. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori penutupan stomata pada tanaman. Potensial air pada daun yang menurun mengakibatkan turgor tanaman menurun. Akibatnya stomata menutup dan konduktansi stomata berkurang, sehingga asimilasi terhambat. Sebaliknya kandungan ABA yang diekstrak dari xilem dengan perlakuan yang sama cenderung meningkat. Hal ini menandakan bahwa penutupan stomata sangat dipengaruhi oleh keberadaan hormon ABA. Perlakuan irigasi secara normal memiliki trend yang lebih stabil, walaupun terjadi sedikit penurunan pada parameter asimilasi CO2, konduktasi stomata, dan potensial air pada daun. Namun, sedikit penurunan ini kemungkinan besar juga disebabkan oleh hormon ABA karena juga terdapat peningkatan hormon ABA pada perlakuan irigasi normal walaupun peningkatannya lebih kecil bila dibandingkan dengan semanggi pada kondisi tercekam. Pada Gambar 9, terjadi peningkatan konduktansi stomata dan asimilasi CO2 serta penurunan konsentrasi ABA sekitar pada hari ke-28, diduga setelah hari ke 28 tanaman sudah mulai beradaptasi atau sudah mencapai titik optimum mampu menerima stres kekeringan.
Pengaruh cekaman kekeringan yang dilakukan oleh Efendi dan M. Azrai (2010) menunjukkan bahwa kekeringan mampu mempengaruhi pergerakan akar dan tingkat fertilitas pada tanaman jagung. Penelitian ini menggunakan beberapa tanaman tahan kering yang telah diperlakukan PEG 10% sebagai cekaman osmotiknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe Anoman, Nei 9008, dan B11-209 merupakan tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan. Hal ini dapat dilihat dari panjang akar tanaman yang paling baik dibanding dengan varietas lainnya (Tabel 2). Genotipe toleran tersebut dianggap lebih mampu mengabsorbsi air lebih banyak sehingga penurunan hasil lebih rendah bila dibanding genotipe lainnya. Walaupun secara teori cekaman kekeringan akan meningkatkan panjang akar, namun penelitian ini sesuai dengan penelitian Grzesiak dan Skoczowski (2004) dalam Efendi dan M. Azrai (2010) yang menunjukkan bahwa bahwa genotype jagung yang toleran pada kondisi cekaman kekeringan memiliki pertumbuhan akar yang lebih dalam dibanding genotipe peka. Genotipe Anoman menjadi tanaman paling toleran bila dilihat pada parameter persentase tanaman fertil dibanding dengan genotipe lainnya. Pengaruh cekaman kekeringan secara langsung dapat dilihat pada persentase tanaman fertil. Pada kondisi optimum tanaman 100% fertil pada semua genotipe, namun setelah dilakukan cekaman kekeringan terjadi penurunan persentase tanaman fertil antara 40-80%. Persentase fertil berhubungan dengan interval waktu berbunga jantan dan betina (ASI). Menurut Earl dan Davis (2003) dalam Efendi dan M. Azrai (2010) ASI yang besar mengakibatkan lemahnya perkembangan ovari menjadi sink, sehingga tingkat kesuburan bunga betina menjadi menurun. Dampat akhir dari penurunan persentase tanaman fertil adalah penurunan hasil tanaman jagung yang kemudian menurunkan produktifitas jagung tiap genotipe.
Toleransi terhadap kekeringan pada tanaman dapat diperoleh melalui manipulasi signal ABA. ABA sebagai kontrol pada penutupan stomata dan mekanisme ketahanan kekeringan umum. Untuk mengubah pergerakan stomata secara khusus, dapat dilakukan denga menargetkan promotor yang tepat pada sel penjaga seperti promotor KAT1 (K+ chanel) dan gen OST1 (mutan stomata1 open). Selain target ekspresi  pada sel penjaga, dapat dilakukan juga perlakuan terhadap ekspresi ABA sendiri. Perlakuan tersebut akan meningkatkan toleransi awal pada kekeringan atau ekspresi peningkatan cekaman kekeringan. Mutasi pada regulator negatif dari ABA terhadap respon sel penjaga seperti ABH1 (ABA hypersensitive1) dan ERA1 (mutan), meningkatkan hypersensitivitas ABA. Hypersensitif ABA akan membuat tanaman mampu menghindar dari kekeringan, namun ketidak pekaan aba akan mengakibatkan kelayuan dan matinya tanaman setelah melewati titik layu sementara.

Kesimpulan
Respon tanaman akibat cekaman kekeringan, bergantung pada skala waktu cekaman kekeringan itu terjadi.  Cekaman kekeringan dapat menimbulkan respon yang sangat cepat maupun lambat. Respon yang cepat ini ditunjukkan pada tanaman semanggi yang menyebabkan meningkatnya produksi hormon ABA sebagai hormon signaling dan menurunkan konduktansi stomata yang kemudian menurunan asimilasi CO2 serta terhambatnya proses fotosintesis. Sedangkan respon lambat dari cekaman kekeringan  dibuktikan pada tanaman jagung yang menyebabkan penurunan persentase tanaman fertil yang selanjutnya berpengaruh pada penurunan hasil biji dari proses fertilisasi antara bunga jantan dan bunga betina tanaman jagung. Toleransi tanaman terhadap kekeringan dapat diperoleh dengan manipulasi ABA atau menargetkan gen promotor khusus pada sel penjaga.

Sumber:

Arve LE, Torre S, Olsen JE and Tanino KK (2011). Stomatal Responses to Drought Stress and Air Humidity, Abiotic Stress in Plants - Mechanisms and Adaptations. InTech. ISBN: 978-953-307-394-1

Ashwani pareek, Sudhir, K. S., Hans J. B. dan Govindjee. 2010. Abiotic Stress Adaptation in Plants. Springer. Dordrecht, Netherlands

D.A. Cristmann, D. Moes, A. Himmelbach, Y. Yang, Y. Tang, dan E. Grill. 2006. Integration of Abscisic Acid Signalling into Plant Responses. Review Article. Lehrstuhl fur Botanik, Technische Universitat Munchen, Am Hochanger 4, 85354 Freising, Germany

Djibril S, Mohamed OK, Diaga D, Diegane D, Abaye BF, Maurice S, Alain B. 2005. Growth and development of date palm (Phonix dactylifera L.) seedlings under drought and salinity stresses. African Journal of Biotechnology. 4: 968-972

Earl, H.J. dan R.F. Davis. 2003. Effect of drought stress on leaf and whole canopy radiation use efficiency and yield of maize. Agron. J. (95): 688-696.

Efendi, R. dan M. Azrai. 2010. Tanggap Genotipe Jagung terhadap Cekaman Kekeringan : Peranan Akar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 29 (1) :1-10

Golec, A. D., dan Iwona Szarejko. 2013. Open or Close the Gate – Stomata Action Under the Control of Phytohormones in Drought Stress Conditions. Frontiers Plant Science

Grzesiak, M.T. dan A. Skoczowski. 2004. Influence of different soil moisture on leaf water content, chlorophyll fluorescence and seedling growth in maize and triticale genotypes differing to drought tolerance. Z.P.P.N. Rolniczych. 496: 229-240.

Jaleel CA, Riadh K, Gopi R, Manivannan P, Ines J, Al-Juburi H, Chang-Xing Z, Hong-Bo S, Panneerselvam R. 2009. Antioxidant defense responses: physiological plasticity in higher plants under abiotic constraints. Acta Physiologiae Plantarum. 31: 427-436

Misra. A.N., et al,. 2002. Physiological, biochemical and molecular aspects of water stress responses in plants, and the biotechnological applications. Proceedings OfThe National Academy Of Science. LXXII: 115-134

Prochazkova D, Sairam RK, Srivastava GC, Singh DV. 2001. Oxidative stress and antioxidant activity as the basis of senescence in maize leaves. Plant Science. 161: 765-771

Reyes JL, et al,. 2005. Hydrophilins from distant organisms can protect Abiotic Stress in Plants – Mechanisms and Adaptations enzymatic activities from water limitation effects in vitro. Plant Cell and Environment. 28: 709-718

Salisbury, F.B., dan Cleon W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. ITB. Bandung

Socias, X., M.J. Correia, M. Chaves, dan H. Medrano. 1997. The Role of Abscisic Acid and Water Relations in Drought Responses of Subterranean Clover. Journal of Experimental Botany. 48 (311): 1281-1288

Xiong L, Zhu JK (2002) Molecular and genetic aspects of plant responses to osmotic stress. Plant Cell and Environment. 25: 131-139

date

1 komentar to “Water Stress ”

  1. Lovapurrcat
    29 Oktober 2017 pukul 19.59

    "Tabel 1. Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen Pada Berbagai Tekstur Tanah"

    Mau tanya kak, tabel 1 itu sumbernya dr mana ya kak?

Leave a Reply:

Tittle

Tittle

Future Agriculture

Entri Populer

Total Tayangan Halaman